Diajari oleh Mbak Wiwik Widayanti, mahasiswi S2 yang ngekost di rumahku, di Yogya. Tentu saja secara bertahap, dari pegang-pegang sampai…, tahu sendirilah. Pokoknya butuh tempo sampai 2 bulan baru bisa merasakan hubungan seks yang sebenarnya, bersetubuh dengan Mbak Wiwik. Setelah itu aku mencoba segala macam wanita, dari pelacur sampai wanita baik-baik. Rasanya sih, aku sudah mempunyai banyak pengalaman. Sudah mengerti semua. Cuma aku tidak pernah merasa puas, itu saja problemku.
Semua keyakinan diri itu akhirnya berubah ketika aku memperoleh
kenikmatan hubungan badan dengan Mbak Indriani, seorang akuntan yang
masih lajang dari suatu kota di Jateng yang pernah menjadi atasanku di
tempat kerjaku sebelumnya di Jakarta. Mbak In, memang tidak tergolong cantik
seperti layaknya bintang sinetron. Umurnya 42 tahun. Kulitnya hitam
manis, tingginya sekitar 160 cm, mempunyai bentuk badan yang langsing
dan mempunyai payudara yang kecil namun indah menantang. Dulu
rekan-rekan di kantorku, termasuk para wanitanya, secara
sembunyi-sembunyi menyebut dia sebagai “si kulkas”. Soalnya dingin,
pasif dan tidak hot. Pokoknya dia tidak masuk dalam daftar seleraku.
Tapi
suatu hari di akhir tahun 1999, aku berjumpa lagi dengannya.
Gara-garanya VW kodokku mogok di dekat rumahnya, sebuah paviliun di
Kebayoran Baru itu. Saat itu hujan deras lama sekali.
Aku menelepon taxi
Blue Bird tapi tidak datang. “Ya udah tunggu dulu aja, sambil ngobrol
soalnya udah lama kita nggak ketemu”, katanya. Mulanya kita ngobrol
biasa. Taxi yang saya pesan belum juga datang. Padahal sudah jam 9
malam. Mbak In menawariku tidur di rumahnya saja, di sofa ruang tamu.
Akupun setuju atas tawarannya, daripada repot, pikirku.
Lalu kami
ngobrol ngalor-ngidul. Setelah makan malam, kami masih bercerita
tentang banyak hal. Sampai akhirnya aku lancang nanya, “Kok Mbak tetep
melajang sih?”.
Diapun cerita bahwa dirinya memang malas untuk
menikah karena masih suka sendiri dan bebas. Buktinya dia bisa hidup
tanpa pembantu. Semua dikerjakannya sendiri. Kecuali pakaian tertentu
yang dilaundry.
“Wah serba swalayan ya”, kataku.
“Termasuk soal tertentu yang khusus juga”, katanya sambil ketawa.
Aku
kaget juga. Yang dia maksudkan pasti seks. Soalnya setahuku dia tidak
pernah berbicara tentang seks, makanya dia dijuluki si kulkas.
Jam
11 malam aku mulai mengantuk. Mbak In meminjamiku celana dalam dan kaos
oblong (keduanya masih baru, berukuran XL, karena itu sebetulnya
oleh-oleh dari Bali untuk temannya), dan memberikan sikat gigi baru
serta handuk, lalu dia masuk ke kamarnya sendiri.
“Selamat
beristirahat. Kalau butuh pengantar tidur nyalakan terus saja TV-nya,
tapi jangan keras-keras. Kalo kamu mau baca-baca ya silakan aja, Gus”,
katanya.
“Makasih Mbak, good night”, kataku.
Setelah mandi, aku
sendirian di ruang tamu itu. Sudah menjadi kebiasaanku kalau mau tidur
harus diiringi oleh musik kaset/CD, atau radio, kadang juga TV. Lalu
me-ngeset timer-nya sekitar satu jam sampai akhirnya aku tertidur. Tapi
malam itu aku susah sekali untuk tidur. Mau membaca tapi mataku lelah
sekali. Akhirnya akupun menyalakan TV, tapi acaranya jelek-jelek.
Akhirnya
iseng-iseng aku dekati rak audio-video. Aku periksa ternyata CD
playernya berisi tiga keping. Karena remang-remang aku tidak tahu itu CD
audio atau VCD. Aku kembali ke sofa. Remote control compo dan TV aku
bawa. Setelah aku klik remote-nya barulah ketahuan kalau isinya VCD.
Lantas aku putar, lalu muncul opening scene.
Aduh!, Ternyata isinya
BF, Judulnya aku lupa, tapi isinya berupa kumpulan adegan klimaks, jadi
bukan cerita utuh. Asyik juga…, isinya cuplikan dari banyak film.
Pembukaan pertama oral seks sampai air maninya keluar. Aku belum tegang,
masih tetap tenang. Adegan berikutnya mirip, begitu seterusnya, hingga
adegan penis dimasukkan sampai dicabut waktu air maninya mau kaluar. Aku
juga belum ereksi, hal ini di sebabkan karena aku sudah lelah dan
mengantuk. Lagipula menonton VCD porno sudah sering kulakukan. Jadinya
agak kebal juga.
Nah, potongan terakhir VCD itu dahsyat juga,
sehingga membuat penisku menggeliat. Adegan 69. Yang banyak disorot
bukan felatio (cewek mengisap cowok), tetapi cunnilingus (cowok mengisap
vagina cewek). Aku sampai ereksi menyaksikan adegan tersebut, sehingga
adegan itu ada yang aku ulangi sampai beberapa kali. Aku ingin menikmati
sampai puas sebelum si cowok di layar TV itu orgasme, sementara aku
sendiri berharap bisa orgasme bersamaan dengan gambar di layar tersebut,
karena aku mengelus-elus penisku sendiri. Aku perhatikan cara si cowok
melayani si cewek. Hebat juga sampai ceweknya mennjerit-jerit.
Ketika
adegan berganti, si cewek mengocok penis cowoknya sembari mengisap,
mendadak ada tawa kecil di belakangku. Aku kaget, malu dan salah tingkah
karena Mbak In sudah berada di belakangku. Yang bisa kulakukan saat itu
cuma mematikan TV-nya, bukan VCD playernya. Lalu aku diam dan menunduk.
Tapi Mbak In memegang pundakku dan berkata, “Kamu suka juga ya rupanya.
Nggak apa-apa sih kan udah dewasa”.
Aku senyum, dan tidak berani melihat mukanya.
“Gus”,
katanya, “Kamu udah sering gitu juga kan? Aku tahu kalo beberapa cewek
di kantor kita dulu ada yang pernah kamu kencani…”.
Aku menatapnya.
Mbak In ternyata cuma memakai lingerie satin putih tipis, berupa rok
dalam pendek tanpa lengan dan celana dari bahan dan warna serupa.
“Kenapa tuh kolormu, kok ada yang berdiri?”.
Ah…, aku makin salah tingkah. Aku tersipu, karena penisku masih tegak.
“mm…, aku…, aku…, aku…, Mbak”, cuma itu yang bisa kuucapkan, sembari aku bangkit dari posisiku yang tadi tiduran di atas sofa.
Kemudian
Mbak In duduk di sebelahku. “Aku tadi sempet tertidur sebentar. Tapi
gara-gara petir aku terbangun, dan nggak bisa tidur lagi”, katanya.
“Lantas aku dengar suara TV masih nyala. Tapi suaranya kok ah.., uh.., ah.., uh. Aku buka pintu pelan. Kamu nggak tahu ya?”.
“Ya Mbak”, kataku.
Kali
ini aku sudah mulai tenang. Pantas saja aku tidak tahu kalau dia keluar
dari kamar, pikirku. Soalnya kamarnya gelap, jadi waktu pintu dibuka
tidak ada cahaya yang menerobos keluar.
“Aku liat diam-diam, ternyata
kamu lagi asyik ngeliat itu ya. Aku liat tadi di adegan berikutnya kamu
mengulang-ulang adegan, dan tanganmu meraba-raba celanamu…”.
“Ya Mbak”, cuma itu yang aku ucapkan.
“Yuk, putar lagi”, ajaknya.
“Nggak ah, malu”, balasku.
“Nggak
apa-apa, Gus” katanya, lalu mengambil remote dari tanganku. TV menyala
lagi. Lantas dia mengambil remote compo, dan memutar CD kedua.
“Tuh liat”, katanya.
Judulnya
“Modern Kamasutra”. Isinya tidak ganas. Serba lembut…, tidak ada close
up penis masuk vagina, tidak ada close up ejakulasi mengenai payudara.
Selama
15 menit kami menikmati CD itu dengan diam, sampai kemudian Mbak In
berbisik, “Ajarin aku dong Gus. Aku kan nggak pernah”, katanya sambil
memelukku.
Aku cuma bergumam, “mm…”.
“Keluarin semua ilmumu dan pengalamanmu…, Gus…”.
“Kok gitu sih Mbak?”.
“Iya dong…, Kamu ajarin aku dong…”.
“Emang Mbak nggak berpengalaman?”.
“Sttttt…,
kamu kayak nggak tahu aja. Aku ini masih perawan, makanya sering
disindir sebagai perawan tua. Aku juga tahu julukan si kulkas, Gus”,
kali ini dia semakin merapat.
“Ajarin aku supaya nggak jadi perawan
tua lagi. Ajarin aku biar aku jadi wanita yang lengkap, pernah merasakan
nikmatnya pria tanpa harus bersuami dan tanpa harus punya anak, Gus…,
Biar lajang tapi matang, gitu Gus”.
Aku terdiam tidak yahu harus
berbuat apa, aku melihat ke layar TV. Ah…, adegannya indah sekaligus
gila. Mulanya 69, dan pakai close up tapi gambarnya tetap soft, seperti
memakai filter. Lantas si pria memasukkan penisnya dari belakang. Lalu
69 lagi. Lalu si cewek berada di atas. Sebentar saja dia sudah meloncat,
duduk di muka si cowok, minta dioral, lalu menindih lagi, duduk lagi,
menindih lagi, duduk lagi, menindih lagi, entah berapa kali, sampai
akhirnya orgasme. Ketika si cowok berdiri, si cewek mengisap dan
mengocoknya. Aku tegang sekali, terangsang oleh adegan di layar.
“Ajarin
aku sayang. Tunjukin kebisaanmu yang telah membuat cewek-cewek di
kantor kita ketagihan…”. Tangannya memegang kedua pipiku, “Please…”.
Entah
kenapa aku seperti terhipnotis. Aku peluk dia, kucium pipinya, lalu
keningnya. “Ya Mbak. Tapi aku lagi capek, setelah main squash tadi, jadi
mungkin nggak memuaskan Mbak”.
“Aku nggak minta macam-macam. Cuma diajari. Semacam apresiasi, gitulah…”.
“Ya Mbak. Tapi VCD dan TV-nya dimatiin ya”, pintaku.
Mbak In mencubit pipiku, lalu mencium kedua pipiku. “Boleh…”.
“Mbak In pingin yang gimana sih?”.
“Terserah.
Pokoknya kamu harus membimbingku, ngajarin aku…, Aku sendiri nggak tahu
apakah malam ini akan melepas keperawananku, tapi yang jelas aku pingin
dapet sebuah pengalaman yang penting bagi seorang wanita dewasa, yang
berumur 40 lebih…”.
Aku terharu, merasa kasihan. Wanita pendiam dan
dingin bagai kulkas ini ternyata menginginkan pengalaman erotis. Wanita
yang tidak pernah bicara jorok dan cerita humor porno ini (tidak seperti
cewek lain di kantornya) ternyata menginginkan sesuatu.
“Ayo Gus.
Ajarin aku, bimbing aku…, Kasih tau aku harus gimana saja. Kamu kan
lelaki sejati. Kamu udah punya jam terbang banyak. Tunjukin itu…”.
“Ya, Mbak”, kataku seraya mencium keningnya. Mbak In memejamkan mata. Kurasakan hangat tubuhnya.
“Katakan
apa yang harus aku lakukan untuk mendapatkan pengalaman pertama yang
indah, Gus. Lengkapi diriku sebagai seorang perempuan yang dewasa…”.
Aku
mengangguk lalu memeluknya, dan mengelus rambutnya yang sekarang
dipotong pendek itu. Aku merasa kelelakianku ditantang dengan halus.
Inilah kelebihan wanita. Masih perawanpun tahu bagaimana caranya
menggerakkan hasrat pria.
TV sudah mati. Aku berdiri, menghampiri rak
audio. Di dekatnya kutemukan CD Romantic Night, musik instrumental
lembut. Itu yang aku putar. Lalu aku kembali ke sofa menghampiri Mbak
In.
“Mbak”, bisikku.
“mm…, beri aku pengalaman, Gus. Matangkan
aku. Jangan mempermalukan aku. Aku telanjur ngomong ini. Aku belum
pernah minta beginian pada laki-laki. Aku memilih kamu soalnya aku
percaya sama kamu. Kamu dulu karyawan yang nggak reseh, bukan trouble
maker, dan gentleman. Aku tahu kamu telah meniduri beberapa cewek di
kantor kita, tapi kamu nggak pernah mengumbar affairmu. Kenapa aku bisa
tahu, yah tahu sendiri…, mayoritas kantor kita kan cewek, dalam 15
wanita cuma ada 1 pria”.
Aku merasa percaya diri. Aku peluk Mbak In erat.
“Apa
yang harus aku lakukan, Gus? mm ya, mestinya apa yang harus kamu
lakukan? mm, maksudku apa yang akan kamu lakukan…, mm kok pake nanya.
Mestinya tinggal dijalanin ya…, mm…, mm Gus…”, kali ini dia seperti
kebingungan mau berkata apa. Kukecup keningnya.
“Mbak pingin merasakan sesuatu yang indah? Mbak sendiri punya fantasi apa sih?”.
“Banyak.
Tapi aku malu ngomonginnya. Terserah kamu dah”, katanya sedikit
bermanja. Aneh juga, aku merasa senang dimanja oleh perempuan yang lebih
tua. Yah inilah kelebihan wanita, yang bisa membuat lelaki merasa
berharga dan dibutuhkan.
“Aku ini menarik nggak sih Gus?”.
Aku mengangguk. Lalu kubisiki, “Lebih menarik dan indah kalo sekarang Mbak pake lipstik dan parfum dikit…”.
Dia segera berdiri, mencubit pipiku, lalu ke kamar. Tidak lama kemudian dia memanggil, “Sini Gus…”.
Aku
masuk ke kamar. Dia sedang duduk di meja rias. Aku memeluknya dari
belakang. Bau wangi menyergap pelan ke hidungku. Bibirnya sudah terolesi
lipstik. “Cakep Mbak”. kataku.
“Bener?”, jawabnya manja.
Mbak In
berdiri. Aku kemudian duduk di belakangnya. Di muka cermin berlampu itu
aku dapati Mbak In dengan pesona kewanitaan yang bertambah. Seorang
wanita berumur 42 thn yang matang.
Ajaib juga, aku bisa tertarik malam
ini. Tanganku memeluk pinggangnya dari belakang.
“Gini ini ya yang dilakukan para istri?”.
“Aku nggak tahu. Aku belum beristri, dan nggak pernah main dengan istri orang”.
Kemudian
aku berdiri, tetap di belakangnya, dan tangan tetap memeluk
pinggangnya. Aku cium lembut pipinya dari belakang. Lalu bibirnya, pelan
dan lembut, dengan gesekan mengambang.
“Aku belum pernah dicium cowok Gus”, bisiknya.
“Ouhh…”, lenguhnya. Aku melihat ke cermin. Dia juga. Wajahnya tersipu.
“Merem
saja Mbak”, kataku. Dia menurut. Tanganku tetap di pinggang. Kuamati
dari cermin, matanya terpejam. Lalu kucium lembut lehernya.
“Ihh…”, cuma itu suaranya.
Lantas
kucium telinganya. Ah ya…, inilah kelebihan wanita, meskipun dia masih
perawan nalurinya tahu bagaimana memancing syahwat lawan jenis. Bagian
belakang telinganya itu sudah wangi. Aku merasa nikmat. Lalu kucium
lehernya, telinga lagi, leher lagi, pipi, bibir, telinga, leher, dan
akhirnya tengkuk.
Tangan kiriku tetap memeluk pinggang dari belakang.
Tangan kananku naik ke pusar. Dari cermin kulihat puting Mbak In mulai
mengeras, menembus lingerie satin yang di kenakannya.
“Nah gitu dong ngajarinnya, Gus”, bisiknya.
Dari
cermin berlampu itu kulihat pancaran kewanitannya terus bertambah. Aku
tidak menyadari si kulkas ini ternyata memikat. Pagutan ke bibir, leher,
telinga dan tengkuk mulai kulancarkan. Tubuh Mbak In mulai bergetar.
Dia tetap terpejam. Dengan pelan seolah tak sengaja aku raba puting
kirinya.
“Uhh”, dengusnya. Kurasakan debar jantungnya meningkat. Lantas
hidungku dan mulutku mulai mengecup bahunya yang terbuka, karena baju
atas lingerienya itu cuma bergantung pada tali. Dia menggeliat.
“Geli tapi nikmat. Kamu pinter Gus”, bisiknya, tetap terpejam.
Kini
kedua tangannya memegangi tanganku. Matanya masih terpejam. Kutatap
sosok wanita ini dari cermin berlampu (hanya itu yang menyala di kamar,
karena lampu lain mati). Kudapati sesuatu yang selama ini, selama
mengenalnya, tidak pernah kuperhatikan. Aku kan sudah bilang, Mbak In
bukan tipe yang masuk daftar seleraku.
Kini kudapati sesuatu. Mbak In
ternyata menarik, punya pesona kewanitaan yang kuat. Kulitnya tidak
putih tapi bersih. Tubuhnya langsing, tapi tidak bisa disebut kerempeng.
Lekuk tubuhnya masih terlihat dan terasa. Mukanya bersih, tanpa bekas
jarawat. Garis matanya memanjang seperti wayang. Alisnya tebal merata.
Bibirnya mungil. Bau nafasnya nikmat.
Oh…, apakah yang berubah pada
diriku? Kenapa tiba-tiba aku bisa menikmati dan menghargai pesona
kewanitaan Mbak In? Karena terangsang, toh dari tadi aku ereksi? Bukan
juga. Aku sudah sering bermain dengan wanita. Semuanya kuawali dengan
keterpesonaan, terlepas wanita itu cantik sekali atau sedang-sedang
saja. Yang pasti sejak aku kenal Mbak Wiwik, yang merenggut
keperjakaanku saat aku remaja, seleraku hanya seputar itu, wanita
berkulit putih, dengan buah dada besar. Tapi Mbak In? Ah, aku tidak
tahu. Aku seperti merasakan pengalaman baru.
Tangan Mbak In masih
memegangi tanganku. Sekarang matanya terbuka. Dia tersenyum. Aku kecup
bibirnya, lembut lalu pipinya, telinganya, tengkuknya.
“Apa lagi sekarang, Gus?”, bisiknya.
Kulepaskan
pegangan tangannya lalu kutuntun untuk melingkarkan tangan kanannya ke
belakang, ke leherku, karena aku kan berdiri di belakangnya. Kucium
lehernya…, Kurasakan debar jantungnya, dan bunyi nafasnya yang
mengeras…, sepertinya dia bernafas dengan mulut. Lantas aku beralih ke
bahunya yang terbuka. Kuangkat tangan kirinya untuk memegangi tengkuknya
sendiri.
Saat kutatap cermin, kulihat sesuatu yang luar biasa. Bulu
ketiak Mbak In ternyata lebat sekali. Aku terkesiap. Wow!, seperti tak
percaya melihat bulu hitam rimbun itu menghiasi bagian bawah lengannya.
Kuangkat tangan kanannya. Sama lebatnya. Wow! Ajaib! Aku belum pernah
melihat ketiak selebat itu. Lagi pula aku selama ini memang tidak
tertarik dengan ketiak yang berbulu, terkesan jorok dan tidak feminin.
Tapi kali ini? Wuahh…, kurasakan debar di dadaku, kurasakan aliran
darahku meningkat. Berubahkah aku?
Ya! Ketiak lebat ternyata memikat.
Suatu hal yang selama ini membuatku risih ternyata merangsang. Dengan
pelan aku raba kedua ketiak itu.
“Nggak pernah dicukur ya Mbak?”, Mbak In menggeleng dengan tersenyum.
“Biarin.
Entah kenapa aku nggak merasa terganggu. Kamu tahu, dulu di asrama,
waktu masih kuliah, aku dijuluki Ratu Ketiak.
Karena sejak tahun kedua
kuliah aku nggak mencukurnya. Buatku ini bukti kebebasanku, bukti
ketidakpedulianku pada apa yang menurut orang lain pantas..”.
Lalu
kucium ketiak berbulu itu. Wow! Fantastik! Bau asli tubuh bersih
menyergap hidungku, karena wanita yang mengerti tentang parfum memang
tidak pernah memberi parfum di ketiaknya, kecuali deodorant. Bau ketiak
wanita (asal tidak kelewat keras), itu yang aku sukai dari cewek-cewek
yang kukencani selama ini. Kali ini bau alami itu bertambah dengan bulu
lebat,sepanjang hampir 5-6 cm. Pantas dulu disebut Ratu Ketiak.
Dari
ketiak kanan aku pindah ke ketiak kiri. Sama aroma dan sensasi bulunya
dengan yang kanan. Aku terangsang sekali. Ukuran terangsang bukan cuma
soal ereksi seberapa keras dan panjang, tapi juga gelora di dalam diri.
Sejak tadi aku ereksi, tapi yang sekarang makin ditambah peningkatan
nafsu. (Nah para cewek, pahamilah itu…)
Dengan hidung dan mulut di
ketiak kirinya, kedua tanganku meraba kedua puting susunya. Keras
sekali. Aku pegang lembut payudaranya yang kecil itu. Kenyal sekali. Ini
sensasi baru buatku, karena aku tidak pernah tertarik dengan payudara
kecil. Aku tidak bisa ereksi oleh payudara mungil. Bila berkencan dengan
perempuan aku selalu memilih yang mempunyai payudara besar, ukuran 34
keatas (beberapa kali aku dapat yang ukuran 38C).
Payudara Mbak In
sepertinya di bawah 34. Tapi kok merangsang ya? Nafsuku semakin
berkobar. Ibarat bendera, mulai berkibar-kibar. Hanya gara-gara bulu
ketiak dan payudara kecil (suatu hal yang belum pernah terjadi).
Akhirnya
baju atas lingerie itu kulepas. Dan wow! Kudapati payudara kecil yang
kencang, dengan puting mengeras. Puting itu berwarna gelap, tapi begitu
merangsang bagiku. Aku selama ini mengencani wanita berkulit putih,
termasuk bule, sehingga puting mereka berwarna terang, kalau bule malah
kemerahan.
Aku remes pelan kedua payudaranya. Mbak In cuma
ah-uh-ah-uh. Kuciumi lehernya, tengkuknya, telinganya, bahunya, dan
ketiaknya, sambil mempermainkan puting dan payudaranya.
Lalu aku
duduk di kursi dekat meja rias. Aku ciumi puting dan payudaranya, dan
kemudian aku kecup puting itu sehingga makin mengeras. Kudengar pinggul
Mbak In berkeletek, berbunyi tanda kontraksi otot saat wanita mulai
disulut birahi.
“Mbak, aku terangsang. Aku suka ketek dan bulu Mbak, tetek dan puting Mbak..”.
Mbak In tersenyum. “Ajarin lagi aku sesuatu yang baru”, katanya.
Kupandangi
tubuh kencang yang sekarang tinggal bercelana dalam satin tipis. Baru
aku sadar, di bawah pusarnya tampak segitiga menggelap. Itu pasti bulu
vagina. Aneh, aku jadi penasaran, ingin segera melihatnya. Padahal
selama ini aku tidak suka melihat bulu vagina yang lebat. Pernah waktu
di panti pajit nafsuku jadi mengendor karena si cewek mempunyai bulu
vagina yang lebat. Si cewek panti pijat sempat tersinggung, karena
nafsuku jadi merosot gara-gara bulu vaginanya yang lebat.
Akhirnya aku
cuma meminta si pemijat untuk mengocok penisku, sembari aku membayangkan
salah satu cewekku yang bulu vaginanya super tipis, hingga aku
ejakulasi di payudara pemijat itu.
Aku selama ini memang risih dengan
bulu lebat. Dalam pandanganku jorok, tidak sehat, cuma menimbulkan bau
dan penyakit. Tapi kali ini begitu bernafsu ingin tahu, Mbak In rupanya
tahu.
“Kamu pingin liat lainnya yang lebat ya? Boleh..”.
Aku menggeleng. Dia mengerutkan kening. Aku tersenyum, “Entar Mbak..”.
Yang
kulakukan sekarang adalah menciumi pusarnya lalu turun ke bawah, tanpa
membuka celana lingerienya, sampai kurasakan bulu tebal tergesek satin
dan hidungku.
Setelah itu kusisipkan jariku ke celananya. Kurasakan
ketebalan bulu vaginanya yang lebat. Jariku seperti buta sejenak, tidak
tahu kemana harus meraba clitoris dan labia majoranya.
Oh, jadi
inilah pesona bulu vagina yang tebal, bisa menyembunyikan vulva.
Cewek-cewek yang pernah kukencani berbulu vagina tipis, malah ada yang
cuma beberapa lembar, sehingga begitu mengangkang sedikit saja, vulvanya
langsung terlihat jelas. Dan itulah yang aku sukai. Itu yang membuatku
ereksi. Bau khas vaginanya juga mulai menyergap hidungku. Aku kian
terangsang.
Akhirnya jemariku mulai mengenal medan. Tahu mana yang
clitoris, mana yang labia majora, mana yang labia minora. Lebih dari
itu, jemariku basah sekali, seolah baru saja terendam di mangkok.
Lingerie itupun basah, sehingga semakin menempel ke vulva, dan bulu
lebat itu makin kentara. Pinggul Mbak In terus berkeletekan, kontraksi
karena terangsang.
“Kamu terlalu, Gus. Terlalu…, Ayo buka celanaku”, katanya.
Dipeganginya
kepalaku, dijambaknya rambutku yang gondrong, lalu digesek-gesekkan ke
lingerie yang basah kuyup dengan aroma yang kian kentara itu.
“Aku terangsang Gus..”.
Tiba-tiba
dia mundur, menjauhkan kepalaku. Tak terasa aku sudah berlutut sejak
tadi rupanya.
Dengan cepat dia melepas sisa lingerie-nya, dan
mencampakkannya ke lantai berkarpet. Wow! Luar biasa, bulu lebat
membentuk segitiga seperti celana dalam. Lalu aku naikkan kaki kanannya
ke kursi rias. Wah! Luar biasa. Kelebatan bulu vaginanya menutupi vulva.
Aku sibak bulu vaginanya, lalu tampaklah vulva yang berwarna gelap,
kecoklatan, bukan kemerahan, bukan coklat muda. Aneh! Aku kok bisa
terangsang.
Padahal kalau melihat gambar porno perek melayu yang
berkulit hitam, meskipun payudaranya besar, toh vulvanya gelap. Dan itu
menjijikkanku. Tapi kali ini aku terkesima. Aku sibak dan belai bulu
vaginanya yang sedikit basah. Begitu pula vulvanya. Vulva seorang
perawan matang yang mengkilap.
Aku terus memandanginya. Kutunda
sekuat tenaga untuk tidak segera mengecup dan menjilatinya. Karena aku
ingin menikmati pengalaman baruku secara bertahap dengan pelan. Dengan
jempol kuraba clitorisnya yang menyembul keras dan gelap itu.
“Auwwwwww…”, Mbak In bersuara.
Astaga! Jadi inilah clitoris si Mbak. Coklat tua, ada merah tuanya. Besar juga clit-nya. Aku putar pakai jempol.
“Ihh…, gila kamu Gus!”.
Lalu jari telunjuk dan jari tengahku menjepit clitnya dan memutar-mutarkannya.
“Gila…, ghuillaa…, waohh”, desahnya.
Nafasku
mulai memburu. Mbak In juga. Aku ambil break sejenak. Mundur, duduk,
kaki selonjor di lantai, kedua tanganku di lantai menyangga badan. Saat
dia akan menurunkan satu kakinya, aku bilang, “Jangan dulu Mbak…”
Kuamati
tubuh di depanku itu. Barulah kusadari pancaran kewanitaannya. Tubuh
Mbak In memang kencang. Dalam umur 42 masih bagus badannya, karena masih
perawan, belum pernah melahirkan.
Lebih dari itu dia memang rajin senam
dan fitness, begitupun renang. Sempat terbayang bagaimana ketiaknya
terlihat kalau dia senam dan renang. Tubuh langsing padat, payudara
kecil kencang, bulu vagina lebat merambat.
“Mbak aku pingin liat ketiak Mbak lagi..”, pintaku.
Dia
mengangkat kedua lengannya. Bayangkan. Satu kaki di kursi, kedua lengan
terangkat, dada busung tegak. Oh indahnya. Oh wanita dewasa. Oh wanita
matang. Oh wanita lajang. Oh wanita perindu kehangatan lelaki. Oh wanita
matang lajang kesepian yang hanya berfantasi setiap hari sambil
mendidihkan birahi untuk dirinya sendiri.
“Apa lagi sekarang Gus?”.
“Mbak aku mau liat vulva Mbak..”.
“Boleh. Nih liat..”.
Wow!
Tangan kanannya turun, lantas jemarinya merentang labia majora. Merah
tua menggelap, tapi bagian dalamnya merah menyala. Begitu basah dan
berkilau. Lendir yang encer terlihat jelas.
Sesaat aku menikmati
pemandangan yang belum pernah kualami itu. Tangan kanan menyibak vulva,
lengan kiri terangkat memamerkan ketiak lebat.
“Mbak jilat sendiri Mbak..”.
Ah,
dia mau melakukannya. Jemari itu dijilatinya, lalu digesekkan lagi ke
vulva, jilat lagi, beberapa kali. Aku tidak tahan, lalu berdiri.
Penisku
kian mengeras, sehingga celana dalamku seperti menyimpan senjata. Ada
setitik basahan di situ. Itu tetesan pertama maniku. Aku menghela nafas.
Lalu melepas kaos.
“Tunjukin dong penismu” kata Mbak In, lalu duduk di kursi rias itu. Aku mendekat.
“Badanmu bagus, Gus. Atletis”.
Aku bersyukur, mempunyai tinggi 175 cm dengan berat 75, dan otot yang masih kencang.
Lalu
dia meraba celanaku, lalu tonjolan penisku. Kemudian memelorotkan
celanaku. Tuinggg! Begitu celana dalamku merosot, maka batang penisku
turun, tertarik ke bawah sesaat, untuk kemudian tegak mendongak. Dia
memandangi penisku.
“Pegang Mbak”, kataku.
Mbak In nggak langsung menggenggam. Tapi merentang jempol dan kelingkingnya seperti mengukur panjang.
“Kayak pisang”, katanya.
Lantas
jempol dan telunjuknya melingkari pucuk penisku. Jarinya lentik,
kukunya panjang terawat. Sexy juga ternyata. Kemudian dia
menggenggamnya, tidak terlalu keras, sesaat saja, lalu dilepas.
“Hangat ya..”, bisiknya mesra.
Kami
sama-sama mengambil nafas. Aku menjauh sedikit. Baru sekarang terasa
dinginnya AC kamar. Tapi aku tidak mau terburu-buru. Aku ingin mengulur
tempo dan menikmatinya lebih lama, soalnya kan lagi ngajarin Mbak In.
“Ke
sofa lagi yuk Mbak”, ajakku. Dia tersenyum. Lalu aku gandeng. Kami
duduk berdua. Berhadapan. Aku cium bibirnya, dan kemudian matanya.
“Haus Mbak”, bisikku.
“Iya Gus…, tenggorokanku juga kering”.
Mbak
In berjalan menuju kulkas, mengambil orange juice kemasan botol. Kami
minum bergantian dari botol yang sama. Lalu bersandar ke sofa, sama-sama
diam. Tidak terasa sudah satu setengah jam lebih berlalu sejak acara
pembukaan di cermin rias tadi. Nafasku kembali normal. Tapi penisku
kembali mengendur, memang begitulah alam mengaturnya.
“Kok jadi kecil lagi?”.
Aku
tersenyum, “Memang gitu Mbak. Entar gede lagi. Mbak juga mengecil lagi
klitnya pasti. Cairan vagina juga berhenti ngalir kan?”. Dia mencium
pipiku.
“Sini Mbak”, kataku.
“Gimana lagi?”, dia keheranan.
Dia
kuminta untuk berdiri, kemudian aku dudukkan di pangkuanku. Tangan
kananku menyangga punggungnya, tangan kiriku menyangga kakinya. Seperti
membopong sambil duduk. Kami berciuman. Lipstiknya mulai menipis.
“Apa sih yang kamu sukai dari tubuhku Gus?”. Aku menjawab dengan menciumi lehernya.
“Geli, nikmat, ahh..”.
Kemudian dia kubalikkan, menghadap ke depan, tetap dalam pangkuanku di sofa. Aku pegang payudaranya. Aku mainkan puting susunya.
“Ternyata Mbak In itu hangat ya?”.
“Bukan kulkas, gitu?”.
“Iya. Mbak juga penuh pesona kewanitaan”.
“Bener?”.
“Mbak ternyata punya nafsu..”.
“Iya dong”, ia berbisik.
“Mbak suka masturbasi juga?”.
“Iya
dong. Seminggu sekali, bisa dua kali, pernah tiga kali. Aku tahu
masturbasi sejak umur 20, dulu sih 3 minggu sekali. Akhirnya mulai umur
30 gairahku malah bertambah. Kadang aku bayangin temen-temen cewek itu,
udah kenal penis umur 20, sampai sekarang udah bersetubuh berapa kali
coba? Sementara aku cuma bisa masturbasi”.
“Mbak mau dimasturbasi nggak?”. Dia mengangguk.
Lalu
kakinya kukangkangkan, dengan posisi tetap jongkok di pangkuanku. Aku
ajak dia bekerja sama, jemari dan telapak tanganku untuk memainkan
vulvanya, tapi yang menggerakkan tanganku adalah tangannya. Luar biasa.
Aku jadi tahu bagaimana si Mbak memburu nikmat. Mulanya memainkan clit.
Lantas labia majora. Mulanya gerakannya pelan. Akhirnya kencang,
maju-mundur, berputar-putar, sampai tanganku pegal.
Lima belas menit
berlalu, si Mbak sudah mendesis-desis, sampai akhirnya tubuhnya
mengejang sejenak. Kuambil telapakku, aku ciumi dengan hidung dan mulut.
Basah penuh aroma.
Mbak pingin apa sekarang?”.
“Ouhh…, pake nanya. Terserah..”.
Dia
kuberdirikan. Aku berlutut di depannya. Aku cium paha kanannya, lalu
kiri, lalu kanan, lalu pusarnya. Dia cuma ah-uh-ah-uh saja. Aku ulangi
terus, kira-kira lima menit lamanya.
Akhirnya dia tidak sabar lagi.
Kepalaku ditarik olehnya, lalu mukaku ditempelkan ke bulu vaginanya. Aku
cuma menggesek-gesek hidung di rumput lebat itu. Lantas dia mengangkat
satu kakinya di sofa, kaki yang lain tetap berdiri menyangga tubuhnya di
lantai. Dengan pelan aku gesekkan hidungku ke clit-nya, lalu labia
majoranya. Aku merasakan vulva-nya yang kian basah itu.
Aku bisa
merasakan bahwa bertambah basahnya vulva Mbak In bukan karena saliva-ku,
akan tetapi terlebih karena dari lubang vagina itu memang membanjir
cairan encer. Begitu banyak cairan yang merembes, sehingga aku bisa
menghirup sambil menyedotnya. Slurping, kata orang bule…, Segar juga.
Mungkin inilah jamunya seorang pria, cairan vagina wanita lajang yang
masih virgin.
Mbak In tidak kuat dengan perlakuanku, kakinya sampai
gemeter, lalu dia duduk di sofa. Kepalaku menyeruak masuk. Kedua pahanya
kuangkat pakai tangan. Kini dia duduk bertambah maju sedikit.
Kedua
kakinya terangkat, sampai bagian belakang lututnya bertumpu pada
pundakku. Aku julurkan lidahku di depan vulvanya yang basah itu, cuma di
depannya, belum menempel. Masih jauh, malah. Kira-kira sejengkal dari
sasaran. Aku diam terus sambil menjulurkan lidah. Mbak In jadi gemas
dibuatnya.
“Cepet dong. Kamu jahat, Gus. Aku udah nggak tahan..”.
Ya,
tunggu apa lagi? Dengan kedua jempolku aku rentang labia-nya. Merah tua
kecoklatan, mengkilat basah. Clit-nya mengeras, seperti biji kacang
garing. Ah nggak, clitoris manis ini seperti kacang mete, begitu pula
ukurannya.
Dengan pelan kutempelkan ujung lidah ke clitorisnya yang mulai keras itu. Cuma menempel, tidak kugesekkan, tidak kujilatin.
“Auhh…, geli…, nikmat…, terus dong”, katanya.
Sekarang
lidahku mulai bermain. Clit itu aku jilati. Tubuhnya bergetar. Lidahku
terus menjelajah ke labia majora, ke seluruh vulva, sampai banjir
permukaan vaginanya, karena campuran saliva dan cairan vagina. Dia
terengah-engah.
“Ouhh…”, Mbak In cuma bersuara begitu. Pertama-tama
Mbak In aku minta mengocok penisku sampai tegak sempurna. Lima menit
kemudian penisku tegang kembali. Air maniku sudah mendidih rasanya. Aku
rebahan di ranjang. Mbak Indriani di atas, meniduriku.
“Ayo Mbak tindih aku, pelan-pelan aja, digesekin tuh memek Mbak, kayak onani”.
Dia
menurut saja. Naik turun, maju mundur, akhirnya kini vagina Mbak In
telah telah basah. Penisku basah. Sudah deh, tidak ada foreplay lagi.
Yang penting kini vaginanya sudah basah. Kemudian aku biarkan sendiri
nalurinya sebagai wanita dewasa yang matang menuntun birahinya yang
menyala-nyala semerah dinding dalam liang vaginanya.
Mula-mula
penisku cuma masuk dua senti. Seret dan licin. Asyik juga. Mbak In merem
melek. Cabut lagi, masuk lagi. Vaginanya semakin basah. Lubang
vaginanya makin longgar. Kudorong lagi hingga bertambah 1 senti. Mbak In
merem melek. Kuulang-ulang terus, aku lupa berapa kali, sampai akhirnya
“slepppppp…”, burungku menembus pelan vagina si perawan tua yang selalu
membuatku onani setiap hari itu.
“Nggak sakit Mbak?”, tanyaku.
“Nggak”, bisiknya.
Iya
dong, mainnya pelan, vagina sudah longgar dan banjir, mana bisa sakit.
Soal memuaskan wanita, aku mempunyai banyak pengalaman. Meski tidak
keluar darah, tanpa rasa sakit, aku yakin inilah kali pertama vagina
terhebat di dunia ini kemasukan penis.
Dengan jari kuelus permukaan
vaginanya. Dia menggelinjang. Dua jempolku kembali menempel di kedua
sisi bibir vaginanya, sehingga bisa merentang mulut vagina.
“Namanya apa sih Mbak?”, aku menggoda.
“Bego kalo kamu nggak tahu!”.
Aku terus menggoda, “Namanya apa sih? Sebutin dong, Mbak..”.
“Payah kamu! Udah sering ngerasain, sering nyoba,masih nggak tau juga”.
Aku diam saja, nggaktidak melakukan tindakan pada pemandangan di depan mukaku itu.
“Apa dong Mbak namanya?”.
“Tauk ah!”.
“Apa dong?”.
“Dikira-kira sendiri. tau?”.
“Apa dong?”.
“Ahh…, bawel amat sih!”.
“Apa dong…, lleelelelhett…, sebutin dong llelelelelhet”, aku menggodanya sembari memainkan lidah di labia dan kclit.
“Auhh…, gila. Nakal”.
“Apa dong, clat, clat, clatttt…”, lidahku semakin nakal, lalu aku hentikan.
“Kamu sendiri nyebutnya apa Gus?”.
Aku jawab, “Vulva, ada klitorisnya, ada labia majora dan minoranya..”.
“Uh kayak guru biologi aja, Gus. Pake nama latin segala..”.
“Habis apa dong..”.
“Malu ah…, udah tahu kan? Tabu buat disebutin, tapi aku sering ngebayangin juga sih..”.
“Kok ngebayangin?”.
“Iya,
kalo lagi masturbasi aku sering mendesis-desis nyebutin kata-kata tabu,
sambil memacu diri menuju orgasme bersama pria seksi…, Rasanya pingin
ngelepasin semua hambatan gitu. Kamu ini mulai mancing ya?”.
“Maksud Mbak?”, aku tanya sembari menjilati bagian basah itu.
“Iyah,
aku kan sering ngebayangin hal-hal yang terlarang termasuk
ucapan-ucapan terlarang. Jadinya kalo lagi on, waktu masturbasi, ya
nyebutin satu demi satu bagian terlarang…, Ahh kamu nakal, lidahmu
pintar, udah sering yahh. Aduh…, geli!”.
“Hmm…, ayo dong Mbak..”.
“Iyahh
sekalian basah, sekalian dibuka deh rahasia ini. Kalo lagi masturbasi
aku sering nyebutin ini…, Aahh geli, nikmat terusin…, Aku sering
nyebutin ini…, Ah kamu nakal!”.
Iya, gimana bisa ngomong lengkap, kalau mulutku semakin aktif dan binal menggarap pusat kewanitaannya?
“Aku sering berbisik, kadang juga berteriak, sih…, Itil, memek, jembut, burung, mani, itil, memek, burung, jembut, Gus!”.
“Lagi Mbak..”, Aku senang mendengar kata-kata tabu itu.
“Memek, iyaa…, me..mheekkkk…, iiiittt..theeeiiill…, jemm bouttttt…, kuonnnnn…tuuoll…, Gila nikmat banget teknik oralmu!”.
“Ini Mbak burungku!” Aku berdiri, aku mengacungkan penisku ke mukanya.
“Woooouwwww…, tambah gede. Udah ngerasain berapa memek nih?”.
“Pegang Mbak..” Dia memegangnya. Lalu mengelus. Akhirnya mengocok pelan.
“Isep dong…”.
“Ah nggak. Entar ajah…, Aku masih takut…”.
Aku
tidak mau main paksa. Aku sadar sedang mengajari cewek mengenal
pengalaman pertama. Biar umurnya sudah matang, tapi pengalaman masih
nol. Lalu Mbak In kuminta jongkok di mukaku, sementara aku rebahan di
karpet, kepalaku diganjal bantal.
“Sekarang Mbak yang aktif ya…, anggap aja lagi onani..”.
Wow!
Tanpa penjelasan lebih lanjut dia langsung memainkan kemaluannya di
mukaku, terutama di hidung dan mulutku. Namanya saja naluri? Biar tidak
pengalaman, masih perawan, tapi kalau usia sudah matang, juga dia sering
nonton film porno, sehingga tidak rikuk lagi menghadapi hal tersebut.
Mbak In jadi pintar dalam waktu sekejap. Kadang dia jongkok mengambang,
sehingga kemaluannya cuma mengambang di mukaku, tapi kadang juga menekan
seperti menduduki wajahku. Begitu banyak cairan membajir dari liangnya.
Sekitar
10 menit hal itu berlangsung. Maju mundur, geser kanan kiri, berputar,
begitu terus. Sampai akhirnya.., “Ahh gila…, mhemm..mhekkkkkkuuuuuuu…,
itttttt..tillku…, Auhh…, Memek! Itil! Ayo jangan berhenti…, aku nggak
kuat Gus!”.
Ah ini dia awal orgasme hebat. Tubuhnya mulai mengejang.
Lalu kedua lutut Mbak In tergetar. Tidak ada suara dari mulutnya.
Kemudian tubuhnya membungkuk. Dan akhirnya setengah telungkup di atas
tubuhku. Kurasakan cairan vagina terus membanjiri wajahku, memasuki
hidungku, tertelan oleh mulutku. Tubuh Mbak sudah basah oleh peluh.
“Terima kasih, Gus..”, bisiknya.
Dia
menggelindingkan tubuh di sampingku. Nafasnya tersengal-sengal. Aku
bangun berdiri. Dia masih rebahan. Kupandangi tubuhnya yang mengkilat,
dengan kaki mengangkang dan lengan terentang hingga ketiaknya yang lebat
itu tampak. Ah indahnya kejalangan seorang Mbak In!
Dia memandangi
penisku yang teracung tegak. Aku pegang batangku. “Jangan sekarang”,
katanya. Aku mengalah. Padahal nafsuku sudah sampai ke ubun-ubun.
Lantas Mbak In kubimbing untuk berdiri, duduk di sofa, dan aku ambilkan minuman untuknya.
“Thanx…”, katanya.
“Mbak capek?”, tanyaku. Dia mengangguk.
“Sini aku pijitin”, kataku.
Dia menurut ketika aku telungkupkann tubuhnya di sofa. Aku mulai memijat kakinya, lalu pinggangnya, dan punggungnya.
“hh…, nikmat…, kamu pinter, Gus”.
Saat itu penisku mulai mengendor. Nafsuku mulai berkurang.
Sekitar
seperempat jam itu kupijati dia. Kini giliran mulut dan hidungku
menciumi punggungnya, pinggangnya, pantatnya, dan entah apa lagi,
pokoknya oral seks kupraktekkan lagi. Lendir mengalir membanjir. Penisku
menegang lagi. Beberapa tetes mani beningpun keluar karena tidak tahan
oleh birahiku yang kian menggila.
“Aku basah Mbak”, kataku.
Mbak
In menoleh melihat penis tegakku yang pucuknya basah. Dia terbelalak.
Lagi-lagi posisi tadi berulang. Bau keringat dan cairan vagina
bercampur. Aku tidak tahu sudah berapa cc menghirup lendir encer yang
keluar dari lubang vagina si perawan tua ini. Beberapa kali dia
mengejang.
Mungkin empat kali. Dan puncaknya adalah, “Mememekkku
Gusssss…, Itiillku…, nggak tahan. Itillkuu mauuu lepassss…, Auh!”.
Dia orgasme hebat. Vaginanya seperti menyempit tiba-tiba.
Kami sama-sama lelah. Lalu beristirahat.
“Mandi air hangat yuk”, kataku.
Kami
ke kamar mandi, menyegarkan diri dengan shower. Tanpa percumbuan, tanpa
birahi, tanpa nafsu. Saling menyabuni dan mengeramasi. Penisku sudah
mengecil.
“Lucu ih”, kata Mbak In sembari meremas penisku yang
terkulai. Lalu kami tidur. Berpelukan dalam kamar sejuk ber-AC. Dengan
segera aku terlelap karena kecapean.
Kami tertidur, sudah jam 3 pagi
lebih. Capek dan ngantuk sekali. Ototku seperti terurai. Kami berpelukan
di ranjang Mbak In, ranjang perawan tua yang selalu kesepian, menjadi
saksi tiap kali si lajang onani karena diamuk birahi, menjadi saksi tiap
kali beberapa helai bulu vaginanya rontok saat digusel oleh tangannya
sendiri.
Di kamar ber-AC itu kami terlelap. Aku benamkan wajahku di
ketiaknya yang lebat. Entah jam berapa aku tidak tahu karena Mbak In
membangunkanku.
“Ini apaan? Kamu ngompol yah?”, tanyanya. Ternyata sprei telah basah oleh maniku, sebagian menyentuh pantat Mbak In.
“Ini
maniku Mbak. Habis tertahan terus sih di dalam akhirnya cari jalan
keluar sendiri. Aku sih nggak tahu, soalnya lagi tidur tadi”, kataku
tersipu.
“Ih hangat dan lengket ya”, katanya.
“Bayangin aja kalo ini mengalir ke memek Mbak”, kataku.
“Nakal kamu”, dia mencubitku.
Dengan
tissu kubersihkan ceceran maninya. Setelah itu aku tertidur lagi karena
masih mengantuk. Mbak In sepertinya juga tertidur.
Pagi hari, ketika sudah agak terang, aku terbangun. Ternyata Mbak In sudah mandi, lagi make up di depan cermin.
“Aku harus masuk kerja”, katanya. “Padahal capek nih” lanjutnya.
Kupandangi
dari ranjang. Tubuh yang kencang itu kuamati dari belakang. Inilah
pesona si perawan tua. Dia cuma memakai celana dalam dan BH-nya hitam
tipis mungil berenda. Oh, seksi sekali! Tak terasa penisku berdiri lagi.
Aku
bangkit dengan senjata teracung. Aku hampiri Mbak In. Kupeluk dari
belakang. Aku ciumi lehernya, ketiaknya sambil tanganku mengelus
payudaranya yang kecil.
“Ah, jangan Gus, aku lagi make up nih…, nanti rusak make up-ku”.
Aku
membisikinya, sambil menjilati telinga kirinya, “Janji deh Mbak make up
nggak rusak, tapi dapet kenikmatan yang banyak diperoleh para cewek di
kantor Mbak pada pagi hari..”.
Oh, aku kian merapat ke tubuhnya. Tapi
tidak bisa mencium pipi dan bibirnya, takut kalau make up-nya rusak.
Yang penting bisa menikmati bulu ketiaknya yang luar biasa itu dengan
hidung dan mulutku. Penisku semakin tegak berdiri. Tanganku mengelus
puting susu si perawan tua yang makin mengeras ini.
“Kamu terlalu, Gus”, bisiknya.
“Terlalu nikmat ya?”, tanyaku.
Aku
terus memeluk dari belakang. Tanganku menggusel payudara mungilnya yang
keras, payudara 42 tahun yang tidak pernah merasakan kenakalan lelaki
muda. Hidungku merasakan sensasi gila yang luar biasa, bulu ketiak yang
hitam lebat dan panjang.
“Ketek gini kok dianggurin bertahun-tahun sih Mbak”, tanyaku.
“Dianggurin gimana?”, tanyanya.
“Ya dianggurin dalam arti nggak pernah diciumin laki, nggak pernah digosokin burung”.
“Heh, burung main di ketek? Bisa? Coba dong..”.
Make
up-nya Mbak In sudah selesai. Sekarang dia duduk di kursi rias, lantas
kedua lengannya diangkat sehingga bulu ketiaknya tampak jelas. Penisku
yang tegang, aku gosokkan ke ketiaknya.
Wuahh…, hangat, lembbut, seperti
menyentuh bulu vagina. Mbak In melihatku dengan pandangan mesra.
Penisku semakin besar dan mengeras. Ingin sekali rasanya minta penisku
dicium, dijilat lalu dihisap olehnya. Tapi nanti dulu, si perawan tua
ini harus dilatih. Kalau serba mendadak bisa trauma nanti dan jadi
alergi dengan penis.
Akhirnya aku tidak tahan juga. Rasanya maniku
sudah mendidih. Belum pernah aku onani memakai bulu ketiak, dulu aku
tidakak suka dengan cewek yang ketiaknya berbulu. Karena tidak sabar aku
gesekkan penisku ke ketiaknya sambil kukocok.
“Mbak aku udah nggak
kuat, bayangin dari semalem cuma nahan burung supaya nggak masuk
memekmu, jadi gimana dong..”. Mbak In tersenyum.
“Mbak, bantu dong Mbak”, pintaku. Tangannya meraih penisku lalu mengocoknya pelan.
“Cepat Mbak. Dia menurut. Terus Mbak..”.
“Aduh
pegel nih…, gantian tangan kiri ya..”, Aku tidak bisa berkata apa-apa
cuma mengangguk. Air maniku yang mendidih tadi tidak jadi keluar. Yang
pasti rangsangan yang kuterima semakin kuat.
Mbak In mulai
berkeringat. Uh, tambah cantik melihat si perawan tua yang berberbulu
ketiak lebat ini berpeluh. Ketiaknya juga basah, payudaranya juga.
“Tanganku capek..”, katanya. Ya sudah aku kocok sendiri penisku.
“Kamu pingin apa Gus?”, tanyanya.
Aku bilang, “Pokoknya pingin nikmat, tuntas, sampe orgasme dan maniku terkuras abis”.
“Tapi
aku belon siap buat bersetubuh. Memekku belon siap dirobek selaputnya.
Belon siap disembur cairan lelaki..”, katanya manja.
“Yah gimana Mbak, aku nggak bisa mikir nih”. Mbak In jongkok. Mengamati dari dekat caraku mengocok penis. Mulutnya ternganga.
“Oh gitu ya…, gila..”, katanya. Aku sudah tidak tahan.
“Awas Mbak mau muncrat nih!”, Mbak In terbelalak.
Aduh
bagaimana kalau mani ini nanti kena mukanya, kena bibirnya. Dia kan
masih perawan.
Vaginanya saja belum pernah disembur mani, kok muka dan
mulutnya, kasihan…
“Terus Gus!”, katanya.Tangannya menyingkirkan tanganku.
“Biar aku aja”, katanya. Aku nurut saja.
Tangan lembut berjemari lentik itu mengocok penisku pelan-pelan. Aku sudah tidak tahan.
“Cepetan Mbak!”, kataku. Dia semakin cepat mengocok penisku.
“Mbak angkat dong lengan kiri. Aku mau lihat ketiakmu yang lebat itu..”.
Jadilah
dia jongkok sambil mengangkat lengan memamerkan ketiak hebat yang
berbulu luar biasa. Aku semakin bernafsu. Akhirnya aku cuma bisa
berkata, “Awassssss…”. Dan “Crat…, crat…, crat”, air maniku muncrat
keras, banyak, dan kental. Mbak In sempat menarik muka menjauh, tapi
payudaranya yang mungil dan kencang itu terkena semprotan air maniku.
“Uh, yang namanya mani ternyata hangat ya..”.
Dioles-oleskannya air maniku ke seluruh payudaranya.
“Kok lengket ya…, Kayaknya superglue, hihihik…, Gimana kalo misalnya masuk ke memekku…, Ih aku harus ganti beha nih..”.
Mbak
In masih terheran-heran oleh air maniku, benda yang baru dilihatnya
ketika usianya sudah 42 thn. Dalam ruang ber-AC mani yang teroles rata
di payudaranya cepat mengering.
“Wahh…, ini rupanya krim pengencang tetek. Di kulit kenceng rasanya, Gus..”.
“Buat facial juga bisa Mbak. Makanya di VCD selalu ada facial cumshot…”.
“Ih, nakal deh kamu”, katanya sambil mencubit pipiku.
Aku
capek sekali. Terima kasih Mbak In sayang, perawan tuaku. Pagi itu kami
berangkat bersama dan sepakat untuk ketemu lagi buat belajar seks. Kami
sering bertemu. Jalan-jalan, makan, nonton, seperti orang pacaran. Lalu
ya biasalah main seks tanpa persetubuhan. Hal itu berlangsung 5 bulan.
Kami bertemu seminggu 2 kali. Oral seks itu rutin. Hanya aku yang
melakukan oral seks pada dia, dianya sendiri tidak pernah melakukan oral
pada penisku. Ini prestasi buatku. Kencan sudah hot, tapi tidak ada
persetubuhan. Vagina Mbak In bisa dijilat dan dihisap sampai kering,
tapi keperawanannya masih tetap terjaga. Air maniku sudah bocor
berkali-kali, tapi tidak setetespun yang menyelinap ke cervix si lajang
hangat bernafsu kuat itu. Maka hanya cunnilingus (tanpa diimbangi
felatio) yang selalu berlangsung.
Tak apa. Aku sendiri suka bisa
mengerem nafsu, sekaligus belajar memperoleh kepuasan tanpa menancapkan
penis ke lubang vagina yang tiada henti mendambakan kenikmatan, lubang
vagina yang sebetulnya memendam iri pada vagina wanita lain yang sering
dijejali penis dan ditumpahi mani hangat. Tapi, yah…, vaginanya saja
belum kena penis, masak mulutnya sudah dimasukkin penis, Kasihan kan?
Pemanasan kami tentu dengan nonton BF di VCD. Aku kan punya banyak
koleksi film BF. Juga dari majalah.
Ternyata Mbak In si perawan
tua ini punya beberapa majalah hot. Katanya sih seperti surat kaleng
mendapatkannya. Diposkan ke rumah tanpa nama pengirim. Dia menduga dari
cewek-cewek di kantornya yang baru saja pulang dari luar negeri. Majalah
itu menjadi bahan onaninya Mbak In. Atau juga onani kami berdua.
Muncratnya air maniku ya paling-paling di payudara mungilnya, atau di
perutnya, pernah di pusarnya dan ceceran air maniku itu merambat ke bulu
superlebatnya.
Hari itu Mbak In genap 42 tahun. Cuma kami
rayakan berdua saja di sebuah restoran di hotel berbintang lima. Dia
seksi sekali malam itu. Memakai sack dress ketat tanpa lengan, tanpa BH.
Karena dia punya kebiasaan menyibak rambut, sehingga bila lengannya
terangkat, maka ketiak hebat itu tampak. Aku lihat pelayan restoran dan
pengunjung lain pada ngeliatin. Mbak In sendiri sepertinya bangga dengan
ketiaknya sekarang.
Pulang dari restoran kami bercumbu, seperti
biasanya. Pakai oral, pakai kocok-kocokan, hingga air maniku mau habis.
Mbak In sudah terbiasa dengan muncratan mani. Dibiarkannya air maniku
membasahi payudaranya bahkan lehernya. Kadang di perutnya, tepat di
pusar. Mbak In makin pintar. Cara mengocoknya semakin hebat. Paduan
irama lambat kadang cepat bisa menguras maniku.
Kadang penisku
digesek-gesekkannya ke ketiak lebatnya, ke payudara mungilnya. Air
maniku pernah menetes di ketiaknya. Habis nikmat sih, seperti menggesek
bulu vagina.
“Hari ini aku genap 42 tahun, Gus. Jadikan aku wanita selengkap-lenglapnya” pintanya, setelah kami istirahat karena kecapekan.
Hari
sudah menjelang pagi. Tapi penisku masih bisa berdiri tegak. Inilah
saatnya untuk membobol si perawan tua ratu jembut yang jago onani itu,
yang vaginanya merindukan sodokan dan elusan batangan daging bertulang
lunak, dengan moncong water canon yang siap menembakkan cairan kental
yang kencang di kulit wanita. Aku tentu saja mengiyakan.
“Terserah caramu, asal nikmat”, katanya.
Di
atas tubuhku Mbak In bergeser pelan, memutar pinggul, goyang kanan
kiri. Serba pelan. Kali ini dia tidak banyak bicara. Cuma merem melek
sambil ah.., uh.., ah.
Akhirnya aku tidak tahan. Vagina perawan tua itu tiba-tiba seperti menyempit dan menyedot penisku.
“Mbak,
Aku mau keluar., Mbak!”, Mbak In cuma menciumku dengan mesara.
Keringatnya menetes di wajahku. Aku tidak ingat apa-apa lagi. Rasanya
seluruh cairan kelelakianku tersedot.
Seluruh tubuhku seperti diperas.
Inilah orgasme hebat yang jarang kualami. Ternyata aku tidak muncrat,
cuma mengalir pelan tapi banyak maninya. Saat itu juga Mbak In orgasme.
Tubuhnya mengejang, menggelepar di atas tubuhku, dengan keringat
membasahi tubuh. Bau ketiaknya kian merangsang.
Dia terpejam menikmati orgasmenya yang pertama kali lewat persetubuhan.
“Oh indahnya. Terima kasih Gus”, katanya.
Tidak
ada jeritan liar yang menyebutkan segala genital dalam bahasa
sehari-hari. Tidak ada teriakan tertahan. Semuanya begitu lembut,
hangat, dan indah. Aku merasa seperti perjaka yang kelepasan
kemurniannya. Kalo Mbak In sih jelas, perawan tua yang terlepas
keutuhannya, dengan lembut, tanpa robekan selaput yang menyakitkan,
tanpa darah karena koyakan.
Sampai terang matahari kami masih
berpelukan. Kami berdua bolos kerja. Mandi berdua pakai air hangat,
alangkah segarnya. Lalu tidur. Siangnya setelah makan kami bersetubuh
lagi. Aku yang di atas. Air maniku masih bisa membanjir, menggenangi
vaginanya. Lalu istirahat. Sore bersetubuh lagi.
Hari-hari selanjutnya
persetubuhan menjadi rutin. Entah sudah berapa cc air maniku mengalir ke
vagina perempuan berusia 42 tahun ini, tapi masih seperti vagina gadis
remaja karena tidak pernah dipakai itu. Semua adegan BF kami tiru, kami
coba. Mbak In makin pintar. Juga makin buas.
Indriani si jembut
lebat, dengan vagina coklat dan clitoris sebesar mete ini memang wanita
yang tepat untuk menguras syahwat.
Indriani, kenapa sih birahimu kau
simpan sekian lama, tersembunyi dalam vagina gelap dan bulu lebatmu?
Demi karierkah kau menahan nafsu betinamu? Kau buang hari-harimu tanpa
merasakan cipratan mani dan sodokan penis pada cervix-mu. Aku semakin
terikat padanya. Aku makin menyayanginya. Inikah cinta? Sayang seribu
satu sayang, Mbak Indriani si lajang kesepian bersyahwat dahsyat itu
tidak pernah membicarakan soal asmara. Tak adakah cinta di kamus
hatinya? Tak adakah cinta di ujung vaginanya, agar kelak bisa berbuah
janin?
Banyak sudah variasi yang kami lakukan. Hanya satu yang
belum. Mbak In membiarkan mani muncrat di wajahnya, begitu pula kepada
mulutnya, padahal aku ingin sekali, karena setiap kali masturbasi itulah
termasuk yang kubayangkan.
Hari ini ulang tahunku ke 25. Kami
bercinta. Waktu ditanya apa permintaan istimewaku, maka aku jawab,
“facial cumshot kayak di VCD porno”.
Surprised! Mbak In mau. Tapi
dengan syarat aku harus bisa membuatnya orgasme terlebih dahulu. Ya maka
kami bersetubuh dengan posisi dia di atas.
Berkali-kali dia mengingatkan, “Awas, jangan muncrat dulu Gus..!”.
Kalu
aku sudah mau keluar, Mbak mencabut vaginanya, lalu meloncat dan
menggesek-gesekkan vaginanya ke mukaku. Mulutku melumat habis vagina dan
clitoris-nya sampai aku minum cairan vaginanya banyak sekali. Begitulah
sampai akhirnya dia klimaks, sambil bicara keras.
“Akan aku habisin manimu…, manniimuuu…, mhannn..nhiiii..muuu…, spermaamu…, pake mulutku untuk pertama kalinya Gus!”.
Semoga
tetangga tidak ada yang mendengar. Mbak In kalau sudah di puncak birahi
memang tidak bisa mengontrol diri. Pingin teriak yang tabu-tabu. Kadang
setengah menjerit, “burungll” atau, “Memekku! Memekku! Memekku…”.
Tapi
aku justru malah senang. Malah tambah terangsang. Aku paling suka kalau
melihat dia menjadi jalang, jadi budak birahi. Nah begitu selesai
klimaksnya dengan banjir cairan vagina, Mbak In langsung melumat
penisku.
Inilah kelebihan wanita. Biar belum pernah melakukan
oral seks di penisku, toh terampil juga. Dia hisap, dia kocok, dia
jilat, sedot, lumat, kocok, sampai akhirnya aku tidak tahan. Menjelang
puncakku, Mbak In melepaskan mulutnya. Si lajang penuh birahi itupun
turun dari ranjang, lalu bersimpuh di lantai. Aku disuruhnya bangun dan
berdiri. Maniku sudah tidak tahan. Lalu dia mengocok lagi penisku sambil
jongkok, sementara aku berdiri.
“Mbak pake satu tangan aja. Tangan Mbak
yang satunya diangkat, biar aku muncrat sambil menikmati jembut ketek
yang fantastis itu..”, pintaku. Oh, dia menurutiku. Maka tangan kiri
mengocok pelan penisku, tangan kanan terangkat, merentang lengan, sampai
ketiaknya terlihat jelas. Penisku semakin menegang. Jilatannya makin
gila. Kocokannya makin habat.
“Mbaak..”, aku menjerit tertahan.
Semuanya berlangsung cepat. Maniku muncrat, “Crat…, crat…, crat”, Masuk
ke mulutnya, tapi tidak tertampung semuanya. Jadilah membasahi pipi dan
hidungnya. Bibirnya belepotan mani. Sebagian menetes ke payudaranya yang
mungil tapi keras kenyal itu.
“Enak juga mani ternyata”, katanya setelah kami terengah-engah duduk di lantai. Kami istirahat.
Pagi
esoknya ketika aku masih tertidur, aku terbangun. Karena ternyata
penisku sudah dihisap si lajang 42 tahun yang sekarang haus mani itu.
“Iya Mbak ini jamu, biar awet muda. Buat facial bisa bikin wajah kiencang”, kataku.
“Katanya
sih gitu. Temen-temen itu juga pada minum mani dan dipakai buat cuci
muka”, katanya sambil terus mengocok penisku. Akhirnya maniku mengalir
dan menjadi jamu yang langsung dihisep semuanya. Mbak Indriani memang
hebat. Kali ini tidak ada air maniku yang tercecer. Semuanya masuk ke
mulut dan ditelannya. Eh, tidak semua sih. Jarinya sempat masuk ke
mulut, lalu mengoleskan mani encer itu ke puting susunya. Sebagai
hadiah, aku oral vaginanya.
Aku sibak bibir besar di mulut vaginanya
dengan jari, lalu mulut aku runcingkan, dan sruppp…, masuk ke pintu
liang vaginanya. Lidahku menjilat, mulutku menyedot. Semua bagian
terkena, dinding luar vagina, labia mayora, labia minora, clitorinya
yang sebesar kacang mete itu. Dan terakhir…, aku masukkan pula jariku,
berputar-putar di dalam, menggapai G-Spot Mbak In, sementara bibir dan
lidahku menggarap daerah pembangkit birahinya. Tentu saja Mbak Indriani
jadi blingsatan.
Ketika dia menjerit, “Itilkuuuu lepas…”, saat
itulah vaginanya membanjir dan membasahi tenggorokanku, asem asin
rasanya. Dan bulu vaginanya itu basah kuyup, oleh campuran lendir vagina
dan ludahku. Hari ini memang nikmat sekali. Setelah itu, hari-hari
selanjutnya, seks kami makin gila. Kalau main 69 seringkali sampai air
maniku muncrat di mulut mungilnya itu. Tapi Mbak In masih haus variasi.
Pingin seperti di BF yang bermacam-macam gaya.
Sudah enam bulan
hubungan kami terjalin, dengan penuh birahi dan mani. Mbak In seperti
orang yang baru mengenal seks.
Memang ya, baru kenal. Makanya
keranjingan bersetubuh. Maunya penis dan mani. Beginikah kalau wanita
dewasa melajang terlalu lama, obsesinya cuma penis dan mani lelaki, dan
yang namanya onani tidak memuaskan dirinya sendiri.
Suatu kali
Mbak punya permintaan gila, ingin main bertiga dengan cewek lain. Aku
yang harus mencari ceweknya. Tapi itu soal kecil.
Aku dulu, sebelum sama
Mbak In, suka jajan, jadi punya langganan cewek nakal. Langgananku yang
aku sukai adalah Susi. Tubuhnya sintal, kulitnya putih, payudaranya 38,
bulu vaginanya tipis, vaginanya merah. Dia jago oral seks. Aku
mengontak ke handphone Susi dan dia setuju. Kami janjian di motel Pondok
Nirwana di Cawang. Ngakunya sih dia juga kangen.
Di motel aku
dan Mbak In check in ke kamar VIP, menutup rolling door, lalu nonton
video yang disiarin di TV yang tergantung di atas.
Isinya orang
bersetubuh, kebetulan main keroyokan, satu pria menghadapi empat
perempuan. Puncaknya air maninya menjadi rebutan empat mulut mungil. Wah
aku juga mau tuh! Sambil nonton kami petting. Aku cuma memakai celana
dalam. Mbak In memakai lingerie satin putih yang tembus pandang,
sehingga bulu vaginanya lari kemana-mana.
Ketika Susi datang,
Mbak In seang pipis. Tidah tahu, kenapa lama sekali di toilet ya.
Padahal begitu Susi datang kami langsung berciuman karena kangen. Ketika
berpelukan aku tambah ereksi. Susi memakai rok mini dan koas you can
see ketat. Langsung kulepas CD-ku.
“Ya ampun Gus, udah napsu banget ya…, Apa nih, minta diisep dulu apa langsung tancep ke memek?”.
Aku
tidak menjawab, Susi langsung jongkok mengisap penisku. Sambil
dikocoknya pelan. Sudah biasa tuh kami kencan di sini. Ketika sedang
nikmat-enaknya dioral, eh Mbak In keluar. Susi tentu saja kaget dan
malu. Dia salah tingkah. Mbak In segera mengatasi keadaan.
“Nggak usah malu, Sus. Ini memang mauku. Aku pingin belajar dari kalian”.
Lalu
aku menjelaskan kalau kami butuh selingan. Aku mengaku kami ini
pengantin baru. Susi agak heran, kok aku memanggil “istriku” itu Mbak.
Tapi namanya saja bisnis, Susi minta tambah. Kalau sendirian melayani
aku Rp 300.000, maka kali ini minta Rp 500.000.
Mbak In karena nafsunya sudah di ubun-ubun, mengiyakan saja. Uang dia kan banyak.
“Aku udah sediain cash cukup kok hari ini..”, Hebat juga si jembut lebat ini, bisa mengantisipasi.
“Mbak pinginnya gimana?”, tanya Susi.
Ternyata
Mbak In maunya melihat dia striptis, setelah itu pingin melihat dia
bersetubuh denganku.
Susi mau. Aku dan Mbak melihat striptisnya dari
ranjang sambil saling merangsang. Makin hebat striptisnya Susi, Mbak In
makin basah. Padahal Susi belum telanjang.
Ketika Susi telanjang,
Mbak In kian terbakar. Dia meniru Susi mempermainkan payudara dan puting
susunya. Dia juga meniru waktu Susi memasukkan dua jari ke vagina lalu
menjilatinya. Aku tentu saja makin ereksi.
“Oh gini rupanya cara
merangsang lelaki”, kata Mbak In. Ketika Susi nungging, lalu memasukkan
jarinya ke vaginanya dari belakang, Mbak In menirukannya. Waktu Susi
menyodorkan telapak tangannya untuk minta ludahku, yang mana tangan
basah itu akhirnya dia oleskan ke vagina dan anusnya, Mbak In juga ikut.
Jadi kering tuh tenggorokanku. Susi sambil nungging memasukkan jari ke
anusnya, Mbak In mengikutinya. Hanya satu yang Mbak In tidak bisa,
menjilati putingnya sendiri.
Akhirnya aku punya ide. Susi aku minta
berdiri, mengangkat lengan, lalu menjilati ketiaknya. Mbak In yang duduk
bersandar di atas kasur ikut mencobanya. Wow, seksi sekali. Ketiak
lebat itu basah oleh jilatannya sendiri.
Akhirnya Mbak In tidak tahan
waktu melihat Susi mengangkangkan satu kaki di atas ranjang, sambil
meremas vaginanya yang merah yang berbulu tipis itu. Susi, gadis sipit
dari Pontianak itu memang sensual dan erotis. Mbak In terengah.
“Udah giliranku dulu baru kamu Sus. Ayo Gus, mana burungmu…”.
Aku
menarik Mbak In ke sofa. Aku duduk seperti memangkunya, lalu Mbak In
jongkok di atas pangkuanku sambil mengangkang, dengan begitu penisku
bisa menembus vagina Mbak In yang lebih gelap dari Susi. “Blkessss…”,
nikmat sekali masuknya karena sudah licin vagina Mbak In si lajang gila
seks. Susi hanya melihat saja. Akhirnya dia punya inisiatif. Dia ciumi
vagina Mbak In dan penisku, sementara pantat Mbak In naik turun.
Jadi
begini posisinya. Mbak In mengangkang di pangkuanku, menghadap ke
depan, dengan vagina tertembus penis, sementara Susi nungging di depan
sofa dengan muka menempel di kemaluan kami.
Jilatan Susi kian menggila.
Ketika penisku keluar, karena meleset gara-gara vagina Mbak In sudah
banjir, segera ditangkapnya dan dikocok. Sementara mulutnya masih
menggarap clitoris dan vagina Mbak In.
Mbak terengah-engah.
Kadang menjerit. Susi memang pintar. Jam terbangnya sebagai wanita nakal
tahu bahwa penisku mau muncrat. Maka peniskupun digenggamnya erat, agar
kecekik, sehingga maniku tertahan. Sementara itu mulut dan tangan kanan
Susi sibuk menggerayangi tubuh Mbak In. Si Mbak rupanya sudah tidak
peduli kalau penisku sudah tidak di dalam vaginanya lagi. Oralnya si
Susi telah melambungkannya ke alam birahi ternikmat di dunia.
Akhirnya
Mbak In mencapai klimaks. Aku dengar suara mulut Susi mengisap-isap
cairan vagina Mbak. “Slrppppp..”. Beberapa kali Mbak In klimaks, sampai
akhirnya menjerit, “Memek, memek, memekkuuu…, nggak tahan…, Lu memang
lonte hebat Susi…, Ajarin aku buat menikmatin seks…, Auhh…, itilku mau
lepas, aku kebelet pipis, memekku mau pecah…, Mana burung, mana mani..”.
Semakin seru ucapan Mbak In di ambang puncak dari segala puncak birahinya.
Akhirnya
semuanya usai. Mbak In terkulai, dengan vagina memerah basah, begitu
pula bulu lebatnya yang basah kuyup, karena campuran cairan vagina dan
ludah si amoy Susi. Mbak Indriani turun dari pangkuanku, lalu merebahkan
diri di kasur. Aku sudah tidak tahan. Maka segera aku kocok penisku.
Susi tiba-tiba bilang, “Jangan Gus. Itu buatku. Lu pikir gue nggak kangen juga. Biar lonte gue juga butuh nikmat lho..”
Susi
rebah di ranjang, di sebelah Mbak In, lalu mengangkang, dan penisku
ditariknya. Lalu, “Bles…”. Baru dua menit aku sudah muncrat
habis-habisan. Tapi aku tahu siapa Susi karena aku langganannya. Justru
ketika aku muncrat itulah dia mulai beranjak orgasme. Ketika penisku
melemas, dia seperti berpacu dengan waktu, agar bisa mencapai puncak,
sementara vaginanya kian licin karena sperma, dan penisku bisa
tergelincir keluar.
Akhirnya dia puncak juga. Dan memberi servis
extra, melumat penisku yang melemas dengan mulutnya, sampai penisku
betul-betul mengerut kecil dan kering maninya. Setelah itu kami
istirahat, memesan makanan yang diantar oleh pelayan. Kami telanjang.
Pelayan motel tidak bakal melihat, karena nganternya cuma dari lubang.
“Gua
mau mandi ah”, kata Susi. Dia memang cuma makan sedikit, sehingga
dengan nikmat bisa mutusin buat mandi. Begitu shower di kamar mandi
terdengar, Mbak In meraihku.
“Masih bisa berdiri nggak, Gus?”.
“Aduh, aku capek Mbak, udah lemas..”.
“Ya udah, kita 69 aja ya…, Aku lagi birahi tinggi nih…, Biasa, mau mens Gus”.
Lalu
kami ber-69. Mula-mula aku keringkan vagina basah dengan bulu yang
awut-awutan dengan celana dalam Mbak In. Itu yang sering aku lakukan,
mengepel vagina dengan underwearnya Mbak In.
Setelah vaginanya
kering, aku jelajahi dengan mulutku. Rupanya cairan vagina Mbak In juga
sudah habis. Jadi aku harus mengeluarkan saliva-ku agar vaginanya basah.
Karena aku berposisi 69 di atas, maka kusibak lubang itu
selebar-lebarnya, lalu aku ludahi. Setelah basah, aku mengulum clitoris
Mbak In yang sebesar mete itu.
Setelah kami berukar posisi. Dia
di atas. Setelah itu jariku masuk ke vaginanya. Satu jari dulu, jari
tengah, keluar masuk, berputar-putar, menjelajahi lubang si lajang
jalang. Lalu dua jari, jari tengah dan telunjuk. Selama dalam lubang,
sebisa mungkin aku membentuk tanda V, sambil mengeksplorasi liang Mbak
Indriani.
Dia mulai terangsang. Mulai merintih. Mulai basah. Akhirnya
tiga jariku masuk ke vaginanya, dan berputar-putar.
“Gilaa…, kenapa nggak dari dulu kamu lakukan Gus? Terusss..”.
Karena
di atas, Mbak lebih leluasa. Pinggulnya terus bergerak. Aku sempat
kehabisan napas, soalnya hidung dan mulutku digusel vagina dan bulu
vaginanya tiada henti, sehingga oksigen terhambat masuk ke mulut dan
hidungku. Mbak In sendiri makin kuat mengulum dan mengocok penisku.
Akhirnya aku ereksi sedikit, dan akhirnya bisa berdiri tegak.
“Terus Mbak, dikocok, diemut, dijilat…, Terus…, sampe keluar maniku..”.
“Sayang banget kalo kamu muncrat sekarang. Masukin dulu ke lubangku, baru kamu boleh muncrat..”.
“Tapi Mbak di atas ya..”.
Mbak
In tidak menjawsab, tapi langsung ganti posisi. Dia menindihku dan
dalam sekejap vaginanya tertembus oleh penisku. Dia terus bergerak.
Keringatnya membanjir. Lipstiknya habis.
Rambutnya acak-acakan. Tapi
entah mengapa dia jadi kelihatan cantik sekaligus jalang.
“Gus kamu tahan nafsumu, jangan ikutan aktif, biar nggak nggak cepat muncrat..”. Lalu dia memacu diri.
Saat itulah Susi keluar dari kamar mandi, cuma dililit handuk.
“Ayo Susi sayang, bantu aku..”.
Susi ketawa, “Udah tuntasin aja secepatnya Mbak..”.
“Ayo Sus..”, kata Mbak In.
“Tapi tambah Rp 75.000 ya?”.
“Terlalu lu Sus…, Komersil banget sih?”.
“Gue kan nyari nafkah Mbak…” Sambil menjawab, Susi sudah duduk di samping kami. Tangannya meraba biji pelirku.
“Gini deh, mulut gue udah capek nih. Gimana kalo pake jari, tapi gratis?”.
Mbak
In yang terengah-engah itu tidak menjawab. Yang terasa sekarang adalah
penisku seperti punya teman di lubang. Jari tengah Susi ikut menembus
vagina Mbak In. Mbak In blingsatan. Mulai ngomong jorok.
“Bagus, Sus,
bagus…, Gila, itil gue lu jepit pake jari ya?, Uhh”, Mbak In kian
berkeringat. Aku tidak melihat apa yang sedang trjadi, karena posisiku
tidak memungkinkan untuk tahu.
Bayangkan, Mbak In di atas, dan terus
menciumiku. Aku tahu, birahinya mulai menanjak kencang. Yang pasti
kurasakan jemari Susi bermain-main di kemaluan kami.
“Gila! Gila!
Gila Gus! Dua jari njepit itilku, lalu jempolnya masuk dubur…, Terlalu
Gus! Nikmat Gus! Gila Gus. Jempolnya udah digantiin jari lain…, gilaa,
Uhh aku sampai puncak!”.
Mbak In bergerak liar, akibatnya penisku
terlepas. Tapi dia tidak mempedulikan penisku lagi, soalnya jemari Susi
terus memburu, menggarap clitoris dan anus. Akhirnya Mbak In terkulai
setelah menjerit, “Akuuuuuuu!”. Aku sendiri segera mengocok penisku.
Tidak sampai semenit penisku sudah mendidih dan siap muncrat.
Dengan
segera aku bangkit, memiringkan badan, dan mengarahkan penisku ke wajah
Mbak In yang tergolek kelelahan dengan nafas terengah-engah. “Cratttt..,
tes.., tes..”, Air maniku menyiram wajah Mbak In yang siang ini tampak
cantik sekali. Kena pipinya, hidungnya, bibirnya, bahkan matanya. Itulah
salah satu petualangan seks-ku dengan Mbak Indriani….
TAMAT
Tidak ada komentar:
Posting Komentar