Kamis, 22 Februari 2018

Hubungan yang terlarang


Ayah sedang sakit. Ibu menjaganya di rumah. Tidak dibawa ke rumah sakit, karena ketiadaan uang. Untuk sementara, aku yang menggantikan ayah untuk melaut. Ayah terus menerus batuk dan mengeluarkan darah. TBC, kata orang-orang. Aku pun menembus kabut pagi ke tengah laut, sembari menebar jaring kecil seorang diri dengan perahu milik ayah. Perahu kecil dengan cadik kecil di kedua sisinya.

Aku pun berhenti sekolah, Adikku Sutinah, mulai besok libur sekolah. masih duduk dikelas 1 SMP, tak lagi naik ke kelas 2. Aku senang, begitu adikku Sutinah libur, berarti ada yang menolong ibu di rumah. Tapi malah adikku Sutinah ingin ikut denganku melaut. 

Akhirnya ibu mengizinkannya. Matahari belum muncul. Angin masih berhembus ke laut. Kami cepat-cepat naik perahu dan mengkayuh agak ke tengah. Lalu kami pasang layar kecil. Dan perahu pun melaju ke tengah laut. Aku tinggal menjaga kemudi agar perahu lurus jalannya. Sutinah duduk di depanku dan menghadap ke arahku.  

Sesekali dia mempermainkan air laut yang berdesir-desir. Dia berpegangan kuat ke dinding perahu dengan kedu tangannya. Tiba-tiba ombak di depan menggelombang. Perahu kami terangkat ke atas, kemudian terhempas ke bawah. Saat itu, rok Sutinah terangkat. Akh… Sutinah, tidak memakai celana dalam. Mungkin lupa, atau mungkin celana dalamnya lagi basah. Maklum dia hanya memiliki dua buah celana dalam. 

Akhirnya kami sampai ke pulau kecil. Aku menabur jaring kecil berkeliling. Usai itu, ujung tali, kami tambat ke buritan, dan kami sama-sama berkayuh ke tepi pantai pulau kecil itu.Jangkar yang terbuat dari sepotong besi yang melengkung, kami jatuhkan, agar perahu tak bergerak. Kami perlahan-lahan menarik ujung tali. 

Tangan kami merasakan agak getar-getar kecil jauh di ujung jaring. Aku yakin, ada ikan di dalamnya. Jaring semakin mendekat. Kami pun mengangkatnya. Benar, ada puluhan ikan ukuran kecil, sedang dan agak besar. Kami memasukkannya ke dalam perut perahu. Saat mengangkat yang terakhir, Sutinah tepeleset. Tercebur ke laut. 

Untung aku masih sempat mengangkat semua jaring itu ke dalam perahu. AKu melihat Sutinah bersusah payah berenang mendekati perahu. Aku mencebur ke laut dan menangkap adikku itu. 

Diaku gendong dan kuangkat ke dalam perahu. Saat kutolak pantatnya, terpegang oleh pantatnya yang tanpa celana dalam. Aku menyentuh buah dadanya yang mungil. Sutinah hanya memakai baju kaos tipis dan tidak juga memakai beha. Selama ini dia hanya memakai singlet saja.. Akibat kuyup, teteknya membayang di bajunya, tanpa dia sadari. Aku terkesima dan langsug birahiku bangkit. 

AKu diam saja, agar tetek itu tetap membayang di bajunya yang basah. “Maafkan aku, Mas,” katanya ketakutan. Dia takut aku marah, karena ketidak hati-hatiannya. Aku diam saja dan membenahi jaring untuk kubuang sekali lagi. Sutinah mendekatiku dan mendekapku, sembari kembali meminta maaf. Aku kasihan padanya. 

Aku balas memeluknya. Kami berpelukan. Kemudian perlahan kembali mengkayuh ke tengah dan menebar jaring yang kedua kalinya. Dua puluh menit kemudian, kami kembali menariknya dan mengangkat puluhan ekor ikan yang ukuran kecil dan menengah. 

Kami hitung bersama, ada 62 ekor ikan, berkisar 11 kilogram. Kami pun merapatkan perahu ke pulau kecil. Sutinah kuajak ke sebuah pancuran kecil yang mengalirkan air sejuk dari puncak bukit. Kupangil Sutinah untuk mandi. Mulanya dia ragu. Kuseret tangannya. Lalu kubuka pakaiannya. “Malu Mas” katanya. “Kamu harus mandi dik. Nanti kamu sakit, air laut lengket di tubuhku,” kataku beralasan. 

Akhirnya Sutinah mau membuka bajunya dan bertelanjang. Dia menutupi teteknya dengan sebelah tangannya dan sebelah lagi menutupi memeknya yang belum berbulu sama sekali. Aku juga membuka pakaianku dan bertelanjang lalu sama-sama mandi pancuran kecil itu. 

Aku menyuruhnya cepat, takut kalau ada nelayan lain yang datang. Kemudian aku mencuci pakaiannya yang kena air laut. Setelah memerasnya, memakaikannya kembali. Hari mulai meninggi. Kami takut, ikan kami tak laku, kami pulang ke tepian. Kami naik ke perahu. Layar kecil, kembali kami pasang agar tak perlu mengkayuh. Kuminta agar Sutinah dekat denganku. Saat perahu berjalan perlahan, kuminta agar Sutinah naik ke pangkuanku. Lagi-lagi Sutinah ragu. Setelahku pelototi, akhirnya dia naik ke pangkuanku. Punggungnya menyender ke dadaku. Perlahan penisku naik.

 Perlahan celana yang hanya pakai karet tanpacelana dalam itu kupelorotkan ke bawah. Lalu kuangkat Sutinah dan kusingkap rok-nya. Jelas, penisku menempel di belahan pantatnya. Sebelah tanganku memegang kemudi dan sebelah lagi memeluknya.

 Kumasukkan tanganku ke sebalik baju kaosnya dan mengelus-elus buah dadanya. “Mas… nanti…” “Udah… diam saja,” aku setengah membentak. Perahu terus melaju menuju tepian. Menurut perkiraan, akan sampai berkisar satu jam lagi. Secepatnya jika angin kencang, 45 menit. “Mas… geli…” “Yah. Mas tahu, geli. Tapi enak kan? Jangan bohong,” kataku. Sutinah diam. 

Akhirnya Sutinah menggeliat-geliat. Ujung penisku sudah sesekali menyentuh-nyentuh parit memeknya. Aku merasa nikmat sekali. 

Sutinah pun menunduk-nunduk sepertinya dia mencari-cari agar ujung penisku mengenai klentitnya. Aku mendengar sesekali dia mendesah. Kuciumi lehernya seraya terus meraba pentil teteknya yang masih kecil. Sampai akhirnya aku melepaskan spermaku. Kami sampai di darat. Ibu sudah menunggu di tepian. Pembeli ikan naik sepeda sudah menungu juga. Akhirnya ikan kami jual. Rp. 83.000,- Ibu tersenyum. “Rezeki kamu bagus Rin,” kata ibu. “Ini rezeki Sutinah, Bu,” kataku. 

Sutinah tersenyum. “Baguslah. Kalau begitu Besok Sutinah ikut lagi, ya” kata ibu pada Sutinah. Sutinah tersenyum dan menganguk. AKu senang. “Sutinah harus ikut bu. Biar ada temanku dan Sutinah rezekinya bagus,” pujiku pula. Ibu tersenyum. Di rumah, aku memperbaiki jaring yang koyak dan Sutinah datang. “Besok aku ikut lagi ya, Mas,”kata Sutinah seperti membujuk. “Ya.. Tapi seperti tadi ya.

 Jangan pakai celana dalam dan pakai baju kaos saja,” kataku. Sutinah mengangguk. Aman pikirku. Jaring kami tabur lagi dan tarik. Kami tabur lagi dan kami tarik pula sampai tiga kali. Kami mendapatkan ikan lebih banyak dari kemarin. Aku mengajak Sutinah mandi ke pancuran. Aku sudah membawa sabun mandi. Kami mandi berdua bertelanjang. Sutinah seperti mulai biasa dan tidak malu lagi. Dalam tubuh kami dilumuri sabun, kami berpelukan. Kucium Sutinah, kuemut teteknya sampai Sutinah mengelinjang.

 Setelah puas menciuminya, kami cepat memakai pakaian dan naik ke perahu. Perahu-perahu besar sudah lebih dahulu ke darat. Mereka ingin mendahului kami, agar ikan mereka lebih mahal. Aku justru senang, kami belakangan dari mereka. 

Perlahan aku memasang layar dan perahu melaju perlahan pula. Sutinah seperti tahu sendiri, dia mendatangiku dan naik ke pangkuanku. Aku justru memintanya agar dia menghadapku. 

Perlahan dia naik mengangkangi kedua kakiku. AKu sudah mengeluarkan penisku yang tegang. “Pegang titit, Mas. Kenakan ke anu-mu,” perintahku. Sutinah pun memegang penisku lalu ujungnya dia tempelkan ke lubang memeknya. Perahu terus melaju dan gelombang kecil mengayun-ayunkan kami. Gesekan demi gesekan kami rasakan, membuat kami kenikmatan. 

Sampai akhirnya kami berpelukan dan aku melepaskan sepermaku beberapa kali ke pintu lubang memek Sutinah. Bibir pantai sudah jelas terlihat. Aku minta Sutinah agar duduk di tengah. Perlahan dia bangkit dan duduk di tengah berpegangan pada kedua sisi perahu. 

Kami tiba di pantai. Ibu juga sudah menunggu. Pedagang ikan mulai berdatangan. Kebetulan harga ikan naik dan kami menjual ikan seharga Rp.118.000,- Kembali ibu tersenyum dan memuji kami. Aku tetap memuji Sutinah. Sutinah pun tersenyum dan bangga. kami pulang ke rumah setelah menambatkan perahu dan aku pun kembali memperbaiki jaring yang rusak serta membeli benang yang kurang. Atas pertolongan penyuluh kesehatan yang memasuki desa-desa dan ABRI masuk Desa, akhirnya ayahku mendapat kesempatan untuk berobat gratis ke rumah sakit di kabupaten. 

Ayah dibawa naik ambulance militer dengan sirene meraung-raung. Sutinah menangis, ketia ayah dibawa naik ambulance itu. Dia memelukku. Ibu menemani ayah ke rumah sakit dengan membawa semua peralatan yang dibutuhkan. Kata mereka setidaknya ayah harus diopname selama 4 bulan, kemudian harus makan obat teratur dan diawasi. TBC, masih bisa disembuhkan, kata mereka. 

Kami pun agak lega juga. Aku dan adikku Sutinah, menyusul ayah dengan naik sepeda. Siang kami tiba di rumah sakit. Ayah dirawat. 

Tangannya sebelah diinfus. Hidungnya, diberi pernafasan. Kata mereka namanya oksigen. Ayah mulai lega bernafas. Ibu pun dirawat juga dengan diinjeksi dan diberi obat. Kami hanya dua jam di rumah sakit. 

Setelah itu, kami pulang dan tak lupa membeli peralatan untuk menempel jaring. Kami sempat makan di warung tepi jalan dan makan dengan lahapnya. Pukul 17.00, kami baru tiba di rumah. Aku langsung tidur, karena keletihan mengkayuh sepeda. Dalam aku tertidur, aku merasakan, kemaluanku seperti dielus-elus. Aku terbangun. Kulihat adikku Sutinah sedang mengelus-elus kontolku. 

“Ada apa, SU?” tanyaku. “Tadinya titit Mas kecil. Lama-lama jadi besar?” kata adikku. Aku tersenyum saja “Aku laga-laga ke tempikku ya Mas. Seperti di perahu itu?” kata adikku. Aku diam saja dan kembali menutup mataku. Sutinah langsung menaiki tubuhku. 

Kedua kakinya mengangkangi tubuhku. Ditangkapnya kontolku dan dilaganya ke lubang memeknya. Kedua lututnya bertumpu pada lantai. “Tekan yang kuat, Su. Titit Mas, dimasuki ke dalam lubang tempikmu,” kataku. Adikku melakukannya. “Ah.. Mas. Sakit,” katanya. “Perlahan-lahan. Nanti lama-lama gak sakit lagi,” kataku. 

Dia melakukannya, tapi mengatakan tetap sakit. Ya sudah. “Kamu buka bajumu. Kamu telanjang saja,” kataku. “Nanti dilihat orang,” bisiknya. “Tak ada yang melihat. Hanya kita beruda saja,” kataku. Akhirnya Sutinah mau dan melepas pakaiannya sampai telanjang. 

Aku duduk dan memangkunya. Aku mempraktekkan, bagaimana Lek Parto menjilati pentil tetek istrinya dan menjilati memek isterinya. Isteri Lek Parti menggeliat-geliat kenikmatan. AKu akan buat adikku nikmat, bisik hatiku. Aku juga melepas semua pakaianku. 

Aku mulai menjilati tetek Sutinah. Pentilnya yang kecil dan teteknya yang kecil. Benar. Sutinah merasa kegelian. Aku minta dia menikmatinya. Sutinah diam, mulai menikmatinya. “Enak kan?” bisikku. 

“Heemmm…” jawab Sutinah. “Kami pigi ke belakang dulu. Cebik tempikmu pakai sabun sampai bersih, gi” kataku. “Untuk apa Mas?” “Ikut saja apa aku bilang. Sana…” Sutinah mengikuti saranku. 

Aku ingin mendengar desahnya, seperti desah isteri Lek Parto. Sekembali Sutinah, aku suruh dia menelentang di lantai berlasakan tikar. Di rumah kami memang tak ada tilam. Sutinah mengikut. 

Aku mulai menjilati memeknya. Memek yang belum berbulu sama sekali. Memek yang masih ada satu garis dengan bibirnya yang sedikit membentuk. “Ah…” Sutinah mulai mendesah, setelah lidahku mulai meliuk-liuk pada itilnya. “Mas…” “Udah diam saja… Enak kok,” kataku. Sutinah diam dan kembali mendesah-desah. “Udah Mas. Aku mau pipis… udah,” katanya. Aku meneruskan. Tak mungkin Sutinah berani pipis di mulutku, pikirku. 

Aku terus menjilati memeknya. Sampai dia menjepit kepalaku dengan kedua kakinya. “Mas aku pipissss….” Desahnya. Aku terus menjilatinya sampai akhirnya kedua kakinya melemas. “Udah mas. 

Kasihan Suti Mas,” katanya. Cairan kental meleleh di ujung lidahku. Aku memeluknya. “Maaf Mas. Aku tadi pipis di mulut Mas,” katanya. Aku diam saja. Aku terus memeluknya dan menempelkan kontolku ke tempiknya. “Kamu masukin titit mas ke dalam mulutmu,” kataku. Sutinah ragu. “Ayo…” kataku. Sutinah duduk di sisiku dan memegang kontolku.

 Perlahan  dia masukkan kontolku ke mulutnya. Kuminta dia memainkan lidahnya pada kontolku dan giginya jangan sampai mengenai kontolku. Sutinah melakukannya. Aku mengulur tarik kontolku dalam mulutnya. 

Sampai maniku menumpah di dalam mulutnya beberapa kali. “Mas..” katanya. “Kalau kamu gak mau telan, ya dibuang saja,” kataku. Suti pun meludahkan maniku dari mulutnya. Kuraih tubuhnya dan memeluknya sembari menciumi pipinya. Kami berpelukan lagi. Tak lama Suti mengatakan nasi sudah siap dari tadi dan kami harus makan. Suti membuat nasi ke piringku dan ke piringnya bersama lauknya. 

“Aku seperti ibu ya Mas. Dan Mas jadi bapak,: katanya. “Ya. Kita main suami-isteri. Aku suaminya dan kamu isterinya?” kataku pula mengikuti ucapannya. Dia tersenyum. Lalu Suti pun menirukan kelakukan ibu kepada ayah kami. Bagaimana ibu memperhatikan ibu dan memperlakukan ayah, begitu pula Suti terhadapku. IBu kami juga memangil Mas kepada ayah dan ayah memanggil bu ne kepada ibu kami. 

Ketika aku panggil namanya Suti, Suti memintaku agar aku memanggilnya Bu ne, sembari tersenyum. Aku mengikutinya. 

“Tapi kalau tak ada yang mendengar ya?” kataku. Suti mengangguk. Aku pun memanggilnya Bu ne. Nampaknya dia senang. Ya sudah. Malamnya kami tidur, karena besok subuh kami harus melaut. Kami bepelukan. Subuh Suti membangunkan aku. 

Orang-orang sudah berlalu lalang mau melaut. Kami bangun, mencuci muka dan membuka pintu. Kami turun dari rumah melalui tangga. Di bawah rumah kami melepas perahu setelah mengisinya dengan jaring. Perahu memang tertambat di bawah rumah kami yang airnya lebih setinggi lutut. Hampir sepinggang. Kami nak ke atas perahu. “Bu ne, kamu jangan terlalu jauh ke depan, kataku. 

Dengan senyum Suti mengiikutiku dan berpindah mendekatiku ke belakang sembari mendayung. Kami mengikuti alur air menuju laut tengah. Dengan cekatan setelah berada 50meter di laut, Suti memacakkan tiang layar dan mengikat layarnya. Dia sudah cekatan nampaknya. Tali layar.

dia pegang kuat dan mengulurnya sedikit jika perahu oleng. Aku memegang kemudi. “Bu ne bersandar ke dada Mas ya?” katanya manja. Dia sudah pula menyebut dirinya dengan kata Bu ne. AKu biarkan saja. Hari masih gelap, perahu-perahu kecil berlayar plastik putih kelihatan sudah mulai banyak di tengah laut. 

Kami mengikutinya dengan menjaga jarak, agar mereka tidak melihat Suti bersandar padaku dengan manja. “Kita ke tempat biasa ya Mas, “Kata Suti. Aku mengarahkan perahu ke sana. Tapi di sana sudah ada dua perahu lebih dulu. Akhirnya kami mengarahkan perahu ke rimbunnya pohon-pohon bakau seperti sebuah teluk kecil. Kami mulai melepas jaring. 

Kemudian menariknya perlahan. Aku merasakan ikan-ikan bergetar di dalam jaring. “Hati-hati, nampaknya ikannya banyak,” kataku. Benar saja, ikan menggelpar-gelepar di jaring. Setelah melepas ikan-ikan itu, kami menebar lagi di tempat yang sama. Kami tarik lagi. Tiga kali kami menebarnya, kemudian kami keluar dari teluk itu. Kami tersenyum. Tangkapan kami hari ini, lumayan baik. 

Kutarik Suti mendekatiku dan kukecup bibirnya, seperti apa yag dilakukan Lek Parto pada isterinya. “Kamu isap lidah Mas ya. Kita bergantian mengisap lidah,” kataku. Suti menatapku. “Kamu mau ya Bu ne…” kataku merayunya. Suti tersenyum setiap kali aku memanggilnya Bu ne. Kuulurkan lidahku dan Suti mulai mengemutnya. 

Kami bergantian. “Ayo sudah. Kita harus cepat ke darat. Nanti pembeli ikan pada pulang,” kataku. Kami memasang layar dan mengarahkannya pulang. Perahu melayu agak kencang, karena angin yang hidup menolak kami ke darat. Para pembeli ikan menyerbu kami dan kami menjualnya Seorang tentara yang ikut masuk desa mengawasi kami. Pembeli ikan tak berani macam-macam. Kami mendapat uang hampir dua ratus ribu rupiah. Perahu kami kayuhke kolong rumah dan kami naik ke atas.

 Aku minta Suti membeli mie goreng dua bungkus dan aku memasak nasi. Begitu nasi masak. Suti sudah pulang dari membeli Mie goreng. Kami makan nasi bercampur mie  goreng. Kami makan dengan lahap. 

“Kita tidur-tiduran lagi ya, Mas?” kata Suti. “Sebentar, biar Mas betulin jaring dulu. Setelah siap kita boleh tidur. Kalau tidak, nanti kita keasyikan dan lupa memperbaiki jaring,” kataku. Suti merajuk. 

“Sabar dong Bu ne…” kataku merayu. Suti tersenyum dan memelukku. “Iya mas. Bu ne ikut membantu ya?” katanya menyeret tanganku. Kami mengeluarkan jaring dari perahu dan menjemurnya, sembari memperbaikinya. 

Sudah dua hari ayah pulang dari rumah sakit. Dia harus banyak istirahat. Tidak boleh minum alkohol, kopi, merokok dan keluar malam. Makan obat harus terus diawasi dan dipaksa, jika ayah menolak. Demikian nasehat dokter. Setelah seminggu ayah di rumah, ternyata aku dan adikku Suti, sudah tak tahan lagi. Malam ini, Suti meraba kemaluanku. Tentunya setelah mendengar ayah ngorok dan tertidur pulas. 

Tempat tidur kami, hanya dibatasi oleh tirai kain. Aku meliriknya dan memeluknya. kami berciuman. Suti membuka kainnya dan menyodorkan teteknya padaku untuk aku hisap dan kujilati. Aku melakukannya dan aku sudah tak tahan lagi. Aku pelorotkan celanaku sampai lepas dan Suti juga melepaskan kain sarungnya. 

Dengan cepat Suti menaiki tubuhku dan menggoyangku dari atas. Kurangkul tengkuknya dan kubisikka padanya agar pelan-pelan. Jangan sampai ibu dan ayah mengetahuinya. Mulanya Suti mengikutinya, tapi nampaknya laranganku dilanggar lagi, sampai dia puas dan lemas. Mulai aku membelaikan tubuh. Kini aku sudah berada di atas tubuhnya. Perlahan kupompa tubuh Suti dan menindihnya dari atas, sembari mencumi bibirnya dan lidah kami berpautan. Aku sudah semakin memuncak dan aku juga tak mampu bergerak pelan.

 Kugenjot tubuh Suti dengan kuat sembari memeluknya. Saat itu, betisku dicubit. Aku melihatnya ke belakang. Oh.. ibu yang mencubit betisku. Tapi kenikmatanku sudah berada di atas dan aku meneruskan memompa tubuh Suti, sampai kami sama-sama menikmati kepuasan. Lalu kami berpelukan dan memakai pakaian kami sembari tidur. Ibu membangunkan aku dan Suti. 

Ibu mengajakku untuk sama turun ke laut. Sedang Suti, tiba waktunya harus ke sekolah. Aku mengangkat jaring dan memasukkannya ke dalam perahu. Baru saja kami mengkayuh perahu dan belum mencapai bibir laut, ibu bertanya kepadaku. 

“Tadi malam kamu dan Suti ngapain? Dia kan adikmu. Sejak kapan kamu dan Suti melakukan itu,” tanya ibu. Mulanya aku diam. Ibu terus mendesak agar aku memberikan jawaban. Ibu benar-benar marah. AKu tak mampu menjawab pertanyaannya. “Sejak kapan, tole,” desak ibu. “Sejak ibu dan ayah ke rumah sakit,” jawabku menunduk sembari terus mengkayuh. Kami pun tiba di bibir pantai. 

Aku memasang layar. Ibu berusia 37 tahun dan tubuhnya yang mungil, tapi marahnya segunung. Akhirnya ibu diam saja. Aku juga diam. Aku membuang jaring ke laut dan ibu ikut membantunya melepas jaring-jaring itu. Hari ini, memang rezeki kami sangat mujur. Tiga kali kami membuang jaring, ikan-ikan demikian banyak kami tangkap. Rata-rata ukuran sedang. Saat nelayan lain sudah pada pulang, kami masih menarik jaring. “Kita kemana?” tanya ibu, saat perahu kubawa ke tepi pulau kecil. “Mandi Bu. Juga makan. Kita makan di sini sana, lebih teduh dan enak,” kataku. 

Perahu merapat ke pantai dan aku langsung menuju pancuran. Aku membuka seluruh pakaianku bertelanjang aku menadah air pancur yang sejuk di kepalaku. Aku tahu ibu datang dari belakang, tapi aku pura-pura tidak melihatnya. Ibu menunggu aku siap mandi. Gantian kami mandi di pancuran itu. Ibu pun mandi telanjang juga setelah di memintaku untuk berjaga-jaga. 

Aku mengintipnya, Tubuh ibuku, membuat aku nafsu sekali. Selesai ibu mandi, kami makan bersama di tepi pancuran itu, sembari melihat perahu kami yang tertambat. 

Kontolku masih saja menegang dan aku secepatnya makan. Ibu juga mengikutinya, karena hari sudah pukul 07.00. Kami harus sampai pukul 08.00 di pantai agar pembeli ikan tidak keburu pulang. Saat ibu mengangkat kakinya, dari celana pendek yang dipakai dan longgar, aku mengetahui ibu tidak memakai celana dalam. Aku melihatnya tadi waktu dia memakai celana. 

Kurangkul ibu dari belakang. “Ada apa, Tole?” tanya ibu perlahan. Aku diam saja. Ibu bertanya kembali, karena pelukanku belum lepas.

 Perlahan kutarik ibu ke sebuah batu besar yang agar ceper. Langsung kupeluk ibu. Ibu meronta dan melawan. Dia sangat berang dan marah. Aku sudah tak perduli. Kusentap celananya sampai lepas dan aku juga dengan cepat melepas celanaku. Ku peluk ibuku dan kuciumi lehernya. Ibu tetap meronta dan menolakku. 

Tapi aku sudah berada di antara kedua kakinya dan kumasukkan kontolku ke memek ibu. Perlahan kudorong. Saat kuraba, memek ibu sudah basah dengan air kental. Cepat aku sadar, kalau ibu sudah nafsu juga. Kusorong pelan-pelan kontolku ke lubang memeknya dan secepat itu, kontolku lenyap di dalam memeknya. Aku mulai memompanya,walau ibu terus menerus meronta bahkan menarik rambutku dengan kuat. Aku semakin tak perduli. 

Terus memeluknya, menciumi lehernya dan memompa tubuhnya dengan lebih cepat.

 Aku merasa jambakan tangan ibu di rambutku sudah melemah. Aku terus memompanya dan menciumi lehernya. Sampai akhirnya aku memeluknya kuat dan menekan sekuat-kuatnya kontolku ke dalam dan melepaskan beberapa kali spermaku di dalamnya. Saat itu, aku merasakan ibuku balas memelukku, walau malu-malu. Saat aku mau mencabut kontolku, saat itulah ibu memelukku da menahan pantatku. Aku urung menarik kontolku. 

Yang kudengar mulut ibu mendesis-desis dan akhirnya dia melepas pelukannya. “Kamu memang anak kurang ajar. Biadab sekali kamu,” bentak ibu padaku sembari menangis. 

“Sudah bu, Maafkan aku,” kataku sembari memeluknya. Ibu meronta. “Jangan!” bentak ibu. 

Aku membujuknya, sampai akhirnya ibu diam dan aku membimbingnya ke atas perahu. “Jangan sampai terulang lagi!”: bentak ibu. AKu diam. Kupasang tali layar dan perlahan aku mengkayuhnya. Kuminta ibu duduk dekat denganku dibelakang, agar haluan perahu terangkat sedikit dan perahu kami bisa berjalan dengan cepat. Ibu mendekat. Akhirnya tubuh ibu kukepit dengan kedua kakiku.

 Kontolku walau dari balik celana tertempel ke punggung ibuku. Kedua tangan ibu sengajaku bimbing berada di paha kiri dan kananku. Saat perahu perlahan berlayar dan laut sepi, karena semua nelayan sudah berada di tepian pantai, aku tak mampu menahan kontolku yang sudah tegang dan keras. Dengan sebelah memegang kemudi, sebelah lagi tanganku kumasukkan ke kaos ibu dari atas dan aku meremas tetek ibu dengan lembut. “Ah.. ada apa lagi…” kata Ibu meronta “Ibu diam. Kita akan terbalik nanti,” kataku. “Kamu ini bagaimana? Apa kamu tidak mengerti jangan diulangi lagi, Mengerti!” bentak ibu.

 Tapi aku terus meremas tetek ibu. Bergantian. Aku sengaja membawa perahu melalui sela-sela pohon bakau agar teduh dan sepi. Cepat kulorotkan celanaku dan melorotkan celana ibu. “Aduh gusti, kamu ini….!!!” Aku tak peduli. Kuangkattubuh ibu ke atas pangkuanku, walau dia membelakangi tubuhku dan kami sama-sama menghadap ke depan. Aku tahu, ibu sudah berbulan-bulan tidak bersetubuh.

Cepat kucelupkan kontolku ke lubang memek ibu. “Akh… ” kata ibu. Tapi kontolku sudah berada di dalam. Perahu terus berjalan dengan santai dalam tiupan angin yang sepoi. “Aduh.. bagaimana ini Tole,” tanya ibu padaku. “Ibu diam saja. Kita akan cari waktu yang baik, kita ke pulau dan kita akan memuaskan diri kita dengan tenang,” kataku merayu. “Biadab kamu !” bentaknya. Suara desir angin dan ombak-ombak kecil membuat perahu bergoyang-goyang.

 AKu memeluk ibu dari belakang dengan sebelah tangan dan… “Ibu… aku mau sampai. 

Sebentar lagi, aku akan mencabutnya. Tenanglah…” kataku. “Diam kamu biadab. Coba kamu cabut. Tunggu dulu,” bentak ibu. Aku diam dan memeluk erat tubuh ibu serta melepaskan spermaku. 

“Sudah, Bu. Aku sudah sampai,” kataku lirih. “Tungu. Jangan kamu cabut dulu. Kurang ajar kamu,” bentak ibu lagi. AKu diam saja. Sampai akhirnya ibu mendesah dan dia mencabut sendiri kontolku yang sudah lemas. Ibu memakai kembali celananya. Aku juga. Kami terus menuju pantai. Pembeli masih ada yang menunggu kami membeli ikan.

 Ikan kami jual dan kami kembali ke rumah kami. Aku segera mengangkat jaring ke bawah pohon kelapa 50 meter dari rumah dan memperbaikinya, ibu mempersiapkan makan siang untuk kami sekeluarga. Ibu membawakan segelas kopi panas padaku dan dua buah pisang goreng dan meletakkannya dekatku.

 Ibu ikut membenahi jaring-jring, agar besok kami pakai lagi. Ibu duduk di dekatku. 

“Awas ya… kalau kamu bercerita kepada siapa saja. Kubunuh kamu..” ancam ibu. Aku tersenyum. “Bukannya menjawab, malah tersenyum,” kata ibu membentak dengan suara tertahan, takut di dengar orang lain. 

 “Ya… pasti aku tidak bercerita apa-apa,” kataku tenang. Ibu pun tersenyum. Ayo cepat dibenahi, biar kita cari kerang dan kepiting,” kata ibu. “Aku buatkan teh manis dyulu dan botol. Cepat masukkan jaring ke dalam perahu,” kata ibuku.

Aku mengikutinya. Jaring kusimpan ke dalam perahu dan memasukkan jala serta memasyukan alat-alat penangkap kepiting juga. Saat aku melepaskan perahu dari tambatannya di bawah kolong rumah kami dan meyorongnya ke aliran air yang agak dalam. Ibu berjalan sampai ke pantai. AKu tahu, dia akan menaiki perahu di sana, karena aliran sungai kecil, masih dangkal. 

Aku menjalankan perahu dengan menolak galah ke dasar lumpur. Bukan mengkayuhnya. Begitu aku tiba di tepian laut, ibu tersenyum menyambutku. Ibu cepat naik ke perahu dan ikut mengkayuh.

Orang-orang maklum. Mereka tahu, kalau kami butuh banyak uang untuk menyekolahkan adikku Suti dan mengobati ayahku. Kami harus bekerja keras. Orang-orang kapung pun kagum melihat kerja keras kami. Satu jam lebih kami mengkayuh dan sambil bercerita. 

Ibu banyak bertanya tentang Suti dan menasehatiku, agar jangan sampai hamil. Kami akan mendapat malu sekampung, katanya. Aku setuju. Tapi aku minta ibu harus rela juga, kalau sekali seminggu, aku membawa Suti ke pulau bakau untuk menangkap kepiting. Alasanku menangkap kepiting, tapi ibu sudh mengerti maksudku, agar Suti juga mendapat giliran. 

Ibu diam tan membantah. Sampai di tempat kami menjatuhkan sepuluh buah alat penangkap kepiting ke laut dengan umpan usus ayam, entah darimana ibu mendapatkannya.

 Aku memasang juga sepuluh buah pancing dengan umpannya dan menancapkannya ke beberapa tempat, untuk memancing ikan sembilang. Kini iabu yang turuna ke lumpur untuk meraba lumpur mendapatkan kerang. Orang-orang berseliweran. Melihat kami sudah berada di tempat memasang jerat kepiting dan mengembangkan jaring, perahu-perahu itu pun berlalu. 

Sesekali terdengar teriakan. Udah dapat banyak belum….? Aku menjawabnya dengan sambil lalu:” baru turun paaaakkk.” Mereka pun berlalu, bahkan banyak yang pulang, karean kosong tak dapat apa-apa. Ibu mengantarkan beberapa keranjang kecil kerang ke atas perahu.

 Di akar bakau, ibu mengelus kontolku. Tangannya dia masukkan dari atas karet celanaku. “Bu, hati-hati, nanti aku jatuh, ” kataku. Ibu tersenyum. Kontolku cepat mengeras. Ibu menurunkan celanaku sampai ke mata kaki. Aku berpegangan ke pohon bakau dan menunggingkan dirinya. “Ayo cepat… ibu sudah tak tahan. Cepat!” katanya. 

Aku menyodokkan kontolku perlahan ke lubang memeknya. “Ayo.. yang dalam… dalam lagi,” katanya. Aku memeluk tubuh ibu dan mengocok kontolku dalam memeknya. 

Tiba-tia terdengar suara desir air. Pasti perahu yang datang. Aku mencabut kontolku dengan cepat. Menaikkan celanaku dan ibuku juga menaikan celananya dengan cepat. Dia melangkah ke atas perahu dan mengambil sebotol teh manis dan membawanya ke akar-akar pohon bakau. Saat teh tertuang ke dalam gelas, perahu kecil itu lintas. Sebuah perahu kecil. “Suti….” panggil ibu. 

Ternyata yang datang ke tempat kami adalah Suti menaiki perahu tetangga tanpa cadik. Suti tersenyum dan menepi. Dia naik ke akar bakau dan membawa beberapa potong goreng sukun. 

Kami memakannya dengan riang. Ibu menatapku dengan tajam. Dia tandatanya, kenapa Suti harus menyusul. Apakah Suti sudah curiga? Setelah meneguk beberapa teguk teh manis, ibu kembali meraba lumpur berpura-pura mencari kerang dan meninggalkan, kami. Aku menyibukkan diri mendekati bebetrapa pancing yang kupasang. 

Ada dua pancing yang bergoyang-goyang. Aku menariknya dengan cepat. Ya… dua ekor ikan sembilang trangkat dan kulepas dari pancing serta memasukkannya ke dala perahu. “Kapan kita berdua ke tempat ini?” tanya Suti. “Kitabuat jadwal setiap minggu pagi dan mingu sore. Saat kamu tidak sekolah dan latiha pramuka,” kataku. “Benar ya, Mas…” pintaSuti setengah berbisik. “Benar..” aku janji, kataku. “Kalau begitu Suti pulang ya…” Suti pun pulang meninggalkan tempat itu. Saat itu ibu datang setelah mencuci tubuhnya yang berlumpur dengan air laut yang bening. Dia mendatangiku ke akar bakau.

“Suti bilang apa?” “Dia minta jatah. Kapan aku bersamanya?” kataku berterus terang. Aku menceritakan pada ibui, setiap minggu pagi dan minggu sore atau kalau SUti tidak latihan pramuka dan kalau ibu berhalangan. “Kamu tidak bercerita apa-apa tentang kita kan?” tanya ibu. Menurutku inilah kesempatanku. “Tidak bu. 

Tapi nampaknya Suti curiga. Untuk itu, dia harus dapat kesempatan. 

Kalau tidak dia akan membuntuti kita terus,” kataku berpura-pura. Ibu menjawabku dengan memberiku ciuman di pipiku. “Kamu anak pintar tole…” kata ibu dan meremas kontolku lagi. Suara-suara burung bercicit-cicit di atas dahan-dahan bakau dan sesekali mereka berkejaran. Ibu melepaskan celananya dan kini dari pusat sampai ke bawah, ibu telah telanjang. 

Tubuhnya masih padat dan bulu kemaluannya sangat tipis membuat belahan memeknya jelas terlihat. Aku bersandar ke pohon bakau. Ibu langsung menaiki tubuhku. Aku berada di antara kedua kakinya. 

Ibu memasukkan kontolku ke lubang memeknya sampai masuk semuanya. Aku memeluknya dan menaikkan baju kaosnya, sampai kedua teteknya tergantung. Mulutku menghisap-hisapnya. Ibu terus memutar-mutar tubuhnya, hingga terasa kontolku menyentuh-nyentuh lubang terdalam dari memeknya. Dan ibu histeris dengan lenguhannya yang kuat dan memelukku kuat sekali. “Ibu sudah sampai,” kataku.

Ibu diam saja dan terus memelukku. Kini giliranku menghenjut-henjutnya dari bawah. Sampai aku melepaskan spermaku. Kami berpelukan dan melepaskan nikmat kami. Akhirnya, kontolku lepas dari lubang memek ibu. Ibu tersenyum. Dia menaikkan celananya dan aku juga. Kami mengangkati jerat-jerat kepiting. Ada beberapa yang dapat dan ada yang masih kosong. Kami menjatuhkannya kembali. Jaring yang kutebar perlahan kutarik dan ada beberapa ekor ikan kecil yang dapat.

Cukup untuk lauk makan kami malam ini dan untuk bekal besok subuh. “Bagaimana? Apa kamu dapat menikmatinya?” kata ibu. 

Aku diam saja. “Ya.. pasti Suti lebih nikmat, kan?” katanya ketus dan cemburu. Aku diam juga. “Kalau kamu merasa sudah longgar, ibu akan berikan yang lebih sempit dan lebih enak,” kata ibu. 

“Bagaimana bisa sempit?” kataku. “Apa kamu mau?” tanya ibu. 

Aku mengangguk. Ibu dengan cepat menurunkan celanaku dan memasukkan kontolku ke mulutnya. Kontolku dijilatinya. Wah.. aku belum pernah merasakan nikmatnya dikulum seperti itu. 

Setelah kontolku keras, ibu melepas celananya dan dia menunggingkan tubuhnya dan berpegangan ke pohon bakau. “Ayo masukkan itu mu ke lubang belakang ibu,” katanya. Aku seperti tak yakin. “Ayo cepat. Nanti orang datang,” katanya. Aku menusukkan kontolku ke mulut lubang belakangnya. Kutusuk lubang belakang itu dengan kuat. Kepala kontolku sudah menembusnya. “Perlahan saja. Berhenti sebentar,” kata ibu. Lalu aku menusuknya kembali.

Setelah setengah kontolku masuk ke lubang belakangnya, aku merasa kontolku dipijat-pijat. Aku merasa nikmat. “Ayo ditusuk terus,” kata ibu. Aku menusuknya.dan mencabutnya. Bagaikan aku menusuk dan mencabut di lubang memeknya. “Kalau mau keluar, keluarkan di lubang memek ib,” pinta ibu. Aku memeluknya dari belakang sembari terus mencucuk cabut kontolku di lubang yang nikmat itu. Sebelah tangan Ibu meraba-raba memeknya. “Bu.. aku mau keluar…”

“Cepat cabut dan masukkan ke lubang memek ibu,” katanya. Aku mencabutnya dan dengan cepat aku mencucuknya ke lubang memeknya. Aku memeluknya dan melepaskan spermaku di dalam lubang memeknya. Ibu pun kembali histeris dengan nimmatnya. 

“Bagaimana… enak kan?” tanya ibu. Aku tersenyum. Kami menarik semua jerat peiting. ada yang kena ada yang kosong.

 Kami harus pulang, sebelum matahari terbenam. Ibu naik ke perahu dan kami sama menaikkan layar, karena angin masih dari laut ke darat. Kami berlayar dengan perasaan kami masing-masing.

 “Kapan-kapan, aku boleh melihatmu bersama Suti?” tanya ibuku. 

“Bagaimana caranya, Bu?” “Kita bertiga ke bakau ini dan aku berpura-pura mencari kerang di seberang sembari melihat orang.

Kalau aku bernyanyi-nyanyi, itu pertanda ada orang. Kalau tidak kamu boleh teruskan dan ibu akan mengintip,” kata ibu. Gila pikirku. Aku diam memikirkannya. “Tapi kalau Suti mengintip kita, boleh enggak?” tanyaku. “Suti tak boleh tau. Bisa bahaya,” kata ibu. Aku berpikir. Ya… Suti tak boleh tau. “Bagaimana?” tanya ibu mendesak. Sebuah desakan yang susah kujawab.

 Diam-diam, aku mencintai Suti adikku sendiri. Aku menyayanginya. Akhirnya aku pu setuju, kalau ibu boleh melihat aku dengan Suti, supaya satu saat nanti ibu muak dan dia tak mau lagi bersetubuh denganku. AKu setuju. 

Ibu pun tersenyum. Kami sampai di rumah dan membawa hasil kami untuk dimasak untuk makan malam. Suti ikut membantu membersihkan ikan sembilang dan kepiting disimpan untuk besok pagi di jual. Cukup untuk membeli dua kilo beras. Ibu sangat puas mengintip aku dan Suti berciuman mesra dan saling membelai. saling mengulurkan lidah. Aku menjilati teteknya dan mengelusnya.

Sutri berada di pangkuanku dan kami berpelukan dengan mesra dan saling membelai. Aku tahu, ibu mengintipku dari belakang Suti. Aku tahu ibu berani mengintip kami. Aku tahu ibu meraba memeknya. Ibu juga tahu, kalau aku sangat meikmati persetubuhanku dengan Suti dan sampai akhirnya aku membuang kondom ke laut.

 Aku yang menjaga diri dengan Suti, kalau tidak nampaknya Suti mau nempel terus dan bermanja terus. Aku harus menjaga mata orang-orang kampung. 

Saat Suti sekolah, aku mendengar pertengkaran kecil ibu dan ayahku. “Kpk kamu bisa hamil, Bune…” kata ayah. “Lho kok bisa hamil? Pertanyaanmu kok aneh. Apa kontolmu tidak mausk ke puki-ku?” tanya ibu tak kalah sengit. “Tapi aku kan pakai kondom?” kata ayah. 

“Ya enggak tau. Kita tanya saja petuigas KB,” kata ibu. Tak lama kebetulan bu Ningsih petugas KB dari kecamatan lewat di lorong rumah kami. Aku melihatnya dari atas perahu di kolong rumah.

 Aku mendengar percakapan mereka. Bu NIngsih mengatakan, “Mungkin konromnya bocor, jadi bisa hamil. Kalau hamil ya sudah, soalnya kan Sutinah sudah SMP jadi sudah bisa hamil lagi,” kata bu Ningsih. Ayah pun diam. 

Ibu pun dengan kasar membentak ayah setelah bu Ningsih pergi. “Tuh… jadi jangan tanya-tanya kenapa aku bisa bunting. Yang jelas yang bikin aku bunting, kontolmu sendiri,” kata ibu sangat sengit dan ketus, membuat ayah terdiam tak berkutik. Bahkan tersenyum.

Ayah tau, kalau ibu ke laut , aku yang menemani. Yang ayah tak tau, kalau ibu hamil karena aku. Ayah turun dari rumah menuju kedai kopi dan main catur di sana setelah ibu meaksanya minum obat. Saat ibu mau naik ke rumah, aku memanggilnya. Ibu datang dan naik ke perahu di kolopng rumah. “Benar ibu hamil?” tanyaku. Ibu mengangguk.

“Ibu takut membuangnya,” jawab ibu. “Kenapa dibuang, Bu?”

“Karena dalam perut ibu adalah anakmu. Bukan anak ayahmu,” jawab ibu berbisik. Aku diam. 

“Kalau nanti kamu harus menyanginya, karena dia anakmu. Ini rahasia,” kata ibu. Aku menganguk. Tak pernah terpikir, aku akan punya anak. Kutatap wajah ibu dan ibu menatap wajahku dengan senyum. Ibu tahu aku limbung dan tak menyangka akan punya anak. “Tapi kau harus terus menerus menyiraminya,” kata ibu. 

“Menyiram bagaimana bu?” tanyaku.

“Kita harus terus menerus ngentot, bodoh,” kata ibu ketus. 

“Kenapa?” “Kalau tidak, nanti di dalam perut anakmu sakit,” kata ibu. Aku mengangguk. Aku berpikiran, kalau orang hamil harus terus menerus disetubuhi. Aku diam. Aku harus pandai-pandai menguasai keadaan agar Suti tidak cemburu. Padahal kalau boleh, aku justru ingin punya anak dari Suti. “Suti mana?” tanya ibu. 

AKu amenjelaskan, kalau Suti baru saja pergi latihan pramuka ke sekolahnya. “Ayo cepat. Kamu naik dari pintu belakang dan aku dari pintu depan. Kamu harus menyirami anakmu,” kata ibu. Aku cepat meningalkan perahu. Aku tak ingin anakku sakit dalam perut ibu. Cepat kututp pintu. Ibu juga menutup pintu dari depan. Ibu langsung ke dapur menemuiku dan memelukku. Aku juga memeluknya. Ibu menyumpalkan teteknya ke mulutku. “Buat aku seperti Suti,” kata ibu.

 Aku mengisap-isap dan merabai tetek ibu. “Ya.. kamu harusisap, supaya nanti air susu ibu banyak dan anakmu bisa menyusui dengan lahap dari tetek ibu,” bisik ibu. Aku mengiyakan dan melakukan apa yang dikatakan ibu. Kedua tetek itu kuisap dan kujilati bergantian. Kuremas dan kubelai-belai.

Sampai aku sudah melihat ibu melepaskan pakaiannya. Ibu menidurkan tubuhnya di lantai. Aku melepas celanaku juga dan menindih ibu dari atas. Ku buka kedua paha ibu dan kutusukkan kontolku ke lubang memeknya. Ibu menari tengkukku dan menyedot-nyedot bibirku. Aku menjulurkan lidahku. Kami saling mengisap lidah.

“Oh… kalau dari dulu aku mengetahui begini… Kenapa ayahmu tak pernah melakukannya,” kata ibu. “Ayah hanya melakukan apa, Bu?” tanyaku. “Ayahmu hanya tau menusuk memek ibu dan menusuk belakang ibu, kalau ibu lagi haid,” katanya. Oh…. Aku terus menggenjotnya dan terus menusuknya. Dalam dan sangat dalam sekali. Ibu menggelinjang dan memelukku dengan kuat.

 “”Ayooo… toleee… diteruskan. Ibu sudah mau sampai.. terus nak…” kata ibu. Aku terus menggenjotnya dari atas. Aku menekan kuat tubuh ibu dan ibu memelukku. Kami sama-sama 
menikmatinya. 

“Ayo… buruan… nanti ayahmu pulang…” Aku menggenjotnya lebih cepat lagi. Lebih cepat lagi dan lebih cepat lagi. Crooottt…croootttt….crrrooooottttt…. Spermaku memenuhi lubang memek ibu dan kami berpelukan dengan erat.

Kii aku menyadari, bahwa aku juga sudah semakin menyayangi ibu, walau rasa sayangku lebih besar pada adikku Suti. Kontolku keluar dari memek ibu karena mengacil. Aku bangkit. Ibu pun duduk membenahi celananya. 

Saat itulah terdengar ketukan di pintu depan. Ayah berteriak memanggil untuk dibukakan pintu. “Kamu keluar dari pintu belakang langsung ke atas perahu,” kata ibu. Aku mendekati pintu dapur. Saat ibu melangkah ke depan dengan langkah yang kuat di atas lantai papan itu, aku membuka pintu dapur dan melangkahke bawah kolong dan naik ke prahu. 

“Kenapa pintu dikunci? Mana anakmu?” tanya ayah. “Di bawah membenahi jaring,” kata ibu. “Kenapa aku tidak lihat?” tanya ayah. 

“Karena matamu memang tidak melihat,” jawab ibu ketus.

Ayah turun ke kolong rumah. Dia mendapatiku tertidur didalam perahu. Saat ayah mau mendekat, aku pura-pura ngorok. Aku mendengar ayah melangkah naik ke rumah. “Wah… dia ngorok,” kata ayah. “Biarkan dia ngorok. 

Dia letih sekali. Dia telah menggantikan kedudukanmu mencari makan. Seharusnya kau banga pada anak laki-lakimu itu,” kata ibu. 

“Ya… dia sangat muda menggantikan diriku,” kata ayah sedih. Ayahpun  mengembangkan sajadah untuk melaksanakan shalatnya. 

Aku benar-benar tertidur saat adzan mahgrib berbunyi dari pengeras suara masjid, aku terbangun.

 Aku memang letih, bukan mengakayuh perahu, tapi mengkayuh ibu agar anakku bisa aku sirami. Sehabis makan malam, aku duduk di teras rumah. Ayah dan ibu sudah tertidur, demikian juga Suti. 

Tak ingin aku membangunkan Suti. AKu hanya memeluknya dan mengecup pipinya dengan sejuta sayang. Mas kenapa tidak menyayangiku lagi, tanya Suti sepulang sekolah. Aku gagap menjawabnya. Aku juga merasa, kalau Suti seperti tertinggal. AKu mengetahuinya, kalau Suti suka sendiri dan menyendiri. “Mas, apa mas tidak sayang sama Suti lagi, ya?” tanyanya dengan rengekan. 

“Siapa bilang Mas tidak sayang. Mas, harus kerja keras mendapatkan uang, utnuk sekolahmu, agar kamu terus sekolah tinggi. Mas rela kerja keras untuk itu. Apa namanya itu bukan sayang?” tanyaku pula. SUti mengengguk. “Tapi Mas sudah tidak pernah mengajakku lagi ke laut mencari ikan.

 Ibu saja yang mas bawa,” katanya merajuk. “Itu juga karena ibu sayang kamu. Dia tidak mau sekolahmu terganggu,” kataku. “Tapi mas dan ibu tidak gituan, kan?” tanya Suti menyelidik. “Apa kamu sudah gila SUti. Dengan ibu sendiri,” kataku pula setengah membentak. Suti diam dan menyadari kesalahannya. Suti lalu memelukku dan menyandarkan kepalanya dibahuku dengan manja. 

AKu memeluknya dan SUti mendongakkan kepalanya, lalu aku menciumi bibirnya dan kami berciuman mesra. Tiba-tiba terdengar suara pintu terbuka. Ibu memasuki rumah. Kami cepat-cepat berpisah. Suti turun dari pintu belakang dan aku duduk di lantai. Ibu tersenyum. 

“Kedatanganku menggangu ya?” sindir ibu. Aku diam. “Tapi ibu juga harus memberikan kesempatan kepada Suti. 

Suti juga butuh…” kataku. Ibu tersenyum. “Ya.. sudah, bawa dia melaut. Hati-hati jangan sampai ketahuan orang,” kata ibu. Aku langsung turun ke bawah menemui Suti dan mengajaknya melaut, karean Sabtu sore itu, Suti tidak ke sekolah latihan Pramuka dan tidak ikut les. 

Suti senang sekali kuajak ke laut. Kami membawa peralatan penjerat kepiting. Kami sama-sama mendayung perahu ke tengah laut menuju pulau kecil. Kami sama-sama berkeringat. Saat kami di tengah laut, kami berpapasan dengan nelayan lainnya. 

“Sudah gelap, bakal turun hujan deras…” seorang nelayan berteriak. “Ya.. Pak. Kami hanya memasang jerat kepiting dan akan langsung pulang. Besok pagi akan kami angkat,” jawabku dengan suara keras. Begitu selesai memasang jerat kepiting, huja turun dengan deras disertai oleh petir. 

Kami cepat-cepat ke pulau kecil dan menambatkan perahu, lalu kami berlari ke dalam gubuk yang ada di pulau kecil itu. Sebuah gubuk kecil beratap rumbia dan berdindingkan anyaman daun kelapa. Kami duduk di bangku-bangku kecil yang ada di sana.

 Tiba-tiba petir menyabung lagi dan kilatnya menyambar-nyambar. 

“Mas…aku takut,” kata Suti. Dia naik kepangkuanku dan memelukku. Aku juga memeluknya. Lama kami saling berpelukan. 

“Mas… aku mau,” kata Suti berbisik. “Kita tidak bawa kondom. Nanti kamu hamil dik. Jangan ya,” kataku. “Jadi bagaimana dong Mas?” “Biar Mas jilati saja ya…” bisikku. Suti diam saja. 

Kuangkat baju kaosnya dan kulepaskan tali bra-nya. Aku mengisap-isap perlahan teteknya. Kujilati lehernya dan kuelus-elus pantatnya dalam pangkuanku. “Mas… aku mau. Aku mau mas…” rengeknya. “Nanti amu hamil dik. Jangan ya,” kataku. “Tidak mas… dua hari lagi aku akan haid. Pingangku sudah mulai sakit,” katanya. Oh… aku tidak menyadari, kalau adikku sudah pintar menandai haidnya.

 Kuturunkan dia dari pangkuanku, Kulepas celananya. Hujan masih terus turun dengan derasnya. Aku juga melepaskan celanaku. Kami berdua setengah telanjang. Kuminta Suti kembali naik ke pangkuanku. Dia sudah tau tugasnya. Suti naik kepangkuanku. Perlahan dia tangkap kontolku dan memasukkannya ke memeknya. Suti menekan tubuhnya, agar kontolku tertelan oleh memeknya.
 “Oh…Kandas, mas,” katanya. “Ya.” Kami berpelukan dan bibir kami terus menempel. Lidah kami tak hentinya berkaitan dan kami saling memeluk dan saling mengelus-elus tubuh kami berlawanan dengan sapuan-sapuan mesra. “Mas… benar tidak melakukan ini sama ibu, kan?” tanya SUti masih mengandung curiga. “Kamu jangan mengada-ada,” kataku. “Kabarnya ibu hamil mas,” kata Suti. “Ya.. kenapa kalau hamil. Kamu kan juga dengar, kalau malam itu mereka begituan juga,” kataku. Suti Diam. Dia terus memelukku dan perlahan-lahan mengoyangkan tubuhnya.

Dia memutar-mutar pinggangnya dan aku terus mengisapi teteknya yang mungil denganpentil yang kecil. “Andaikan kita tidak bersaudara ya Mas,” kata Suti. “Kenapa?” “Kalau kita tidak bersaudara, kita akan pacaran. Kalau SUti tamat sekolah,. kita menikah<’ katanya. “Hus… jangan pikirkan itu.

Nanti kamu harus menikah dengan laki-laki lain,” kataku. “Nanti kalau Suti sudah menikah dengan laki-laki lain, kita tidak bisa seperti ini lagi,” katanya. “Siapa bilang. Bisa dong. Kita akan buat pertemuan rahasia,” kataku untuk meyakinkannya dan Suti tersenyum sembari terus mengoyang-goyang pinggangnya. 

Suti pun memeluk erat tubuh ku. Nafasnya sudah terengah-engah. Oh…. Suti meleguh seperti lembu. “Aku sudah sampai mas,” katanya.

 Aku tetap memeluknya dan membiarkan dia berada di pangkuanku. Aku tahu, Suti sudah lemas. Kubiarkan dia diam di atas pangkuanku. Aku tetap memeluknya dan membelainya. Kontolku masih tetap tegang dan keras dalam memeknya. 

“Mas… sayanag Suti, kan?” bisiknya. “Ya.. aku tetap menyayangimu,” kataku merayunya.

 “Mas jangan pernah lakukan ini pada ibu ya?” ulangnya lagi. 

“Kamu jangan mengada-ada dik. Jangan mengada ada,” kataku. 

“Benar ya Mas…” “Benar. Dia ibu kita,” kataku mengandung penyesalan. Suti mencium leherku dan mendengus di sana. Terasa nafasnya hangat di leherku. Gairahku muncul. Aku memelukkan kedua tangankua ke pantatnya dan menarik maju-mundur, agar kontolku keluar masuk di memeknya. 

“Terus mas… enak….” katanya. Aku meneruskannya. Suti memelukkan kedua tangannyake tengkukku dan mulai menempelkan bibirnya dan lidah kami kembali bertautan. 

“Ayo mas… ayo mas. ayoooo…” katanya. Kulihat nafsunya demikian menggebu-gebu.

 Aku terus menggoyangnya dan terus mencucupi bibirnya dan suara hujan semakin lama semkin menderas saja. Sesekali suara petir menggema dengan didahului oleh kliat dengan lidahnya yang menyambar-nyambar. Pada suara petir yang ketiga, aku memeluknya dengan kuat dan Suti juga memelukku dengan kuat. Saat itu, aku melepaskan speermaku beberapakali ke dalam memeknya. 

“Maaaasssss….ohhhh….” Aku terus e\memeluknya dengan kuat dan membelai-belai kepalanya. 

“Enggak pakai kondom lebih enak lo Mas,” katanya. “Kenapa?” “Entah. Rasa lendirnya lebih nikmat. Kalau gak pakai kondom, lendirnya gak terasa,” kata Suti tersenyum. “Ya… kita haruspakai kondom, kecuali kalau kau dua hari lagi mau haid,” kataku. Kontolku mengecil dan lepas dengan sendirinya dari memek Suti.

 Kuturunkan tubuh Suti, seiring dengan hujan mulai mereda. Malam sudah tiba dan langit makin hitam. Angin mulai rada juga. 

“Kita pulang Mas. Aku takut,” kata Suti. “Ya. Kita pulang” Kami memakai pakaian kami dan mendekati perahu lalu naik ke atasnya. 

Aku melepaskan ikatan tali perahu dan kami mengkayuh ke darat. saat Di darat, kami sudah melihat kerlipan lampu-lampu dari desa kami.

 Kami memacu dayungan kami dengan cepat. Jangan sampai hujan datang lagi semakin deras dan angin menderu-deru. Di bawah siraman hujan rintik kami mendayung dan mendayung perahu kami tanpa kenal lelah. 

“Mas… aku masih mau,” kata Suti. “Besok lagi. Hujan nanti deras dan angin nanti kencang, Kita harus segera tiba di rumah sebelum hujan datang lagi dan nanti buruan ganti baju, biar besok kamu tidak sakit,” bujukku. Suti tersenyum dengan semangat dia mendayung perahu dengan kuat dan perahu kami melaju dengan kencang. Setiba di rumah, kami langsung mengganti pakaian kami dengan yang kering dan kami menyantap makanan yang sudah tersedia.

 Aku memberikan sebuah tablet obat flu, agar Suti tidak sakit dan aku juga menelan sebutir obat. Saat kami makan dengan lahapnya, ibu tersenyum dari sebuah sudut saat mata kami bertatapan. Aku mengerti apa arti senyumannya dan arti tatapannya.

 Terlebih tanpa sadar, aku menyuapkan sepotong ikan ke mulut Suti dan Suti menerima dengan mulutnya, ketika aku menyodorkannya ke mulutnya. suti pun makan dengan bahagia. Usai makan Suti mencuci piring bekas piring makan kami. 

Saat itu ibu datang mendekatiku dan berbisik. “Kamu jangan lupa giliranmu menyirami bayi dalam kandunganku,” katanya. 

Aku mengangguk. Yah… sudah kepalang. Dalam perut ibu ada bayiku. Kata ibu yang sudah berpengalaman, aku harus terus menerus menyiraminya, kalau aku tak mau bayiku sakit dalam perut. Aku terkejut. Tiba-tiba saja, ibu mengelus kontolku dari balik celana. Dalam keterkejutanku, ibu malah tersenyum. “Tadi dia sudah makan kenyang tuh,” sindir ibu. Aku mengerti maksudnya. Kontolku sudah makan kenyang dari memek Suti. Aku tersenyum kecil. “Siapa yang kenyang, Bu,” tanya Suti menyahut dari belakang. “Mas mu. 

Dia sendawa, berarti makannya kenyang,” kata ibu di dapur. Aku jelas mendengarnya. Tiga hari setelah kejadian itu, aku didatangi ibu di dapur. Pagi itu, ayah pergi ke kecamatan. Katanya ada pertemuan partai yang mau kampanye. Ayah diundang oleh calegnya. Suti sekolah. Ibu langsung meraba kontolku dari balik celanaku. Pagi yang hangat itu, aku benar-benar jadi nafsu.

 Langsung kupeluk ibu dan mencium bibirnya dan aku mempermainkan lidahku dalam mulutnya. Ibu membalasnya. Kuinta ibu berjongkok. “Untuk apa?” katanya. 

Aku hanya menatapnya dengan mataku aku meminta ibu mengikuti apa yang kumau. Ibu pun berjongkok. Kukeluarkan kontolku, lalu kusodorkan ke mulut ibu. “Hisap bu,” kataku. Ibu sempat melihatku. Lalu kontolku dipegangnya, lalu dimasukkan ke dalam mulutnya. “Aduh, Bu. Jangan kena gigi ibu, sakit,” kataku. Ibu berusaha agar gigibnya tidak mengenai kontolku. 

Aku merasa nikmat sekali. “Bagaimana Bu? Enak juga kan?” kataku. Ibu ku diam saja.

Ku minta ibu berlutut dan menungging. Ibu melakukannya. Kusingkap rok-nya. Ibu yang tidak memakai celana dalam kukangkangkan. Kumasukkan pelat-pelan kontolku ke lubang memeknya. 

Perlahan aku menusuknya dan perlahan pula aku menariknya. 

“Bagaimana, Bu?” kataku. “Enak. Teruskan,” katanya. AKu mencucuk tarik kontolku di dalam lubang memek ibu. Ibu mendesah-desah, bagaimana anjing yang baru saja usai berlari jarak jauh. Sampai akhrinya, aku melepaskan spermaku di dalam memek ibu. Perut ibu semakin membesar. Ibu sudah tak mungkin lagi ut ke laut. 

Jika sore Suti tidak ikut latihan pramua atau les, Suti selalu menemaniku ke laut. Tentu dengan nasehat, hati-hati, jangan sampai Suti hamil dan jangan sampai ada yang tahu. Aku mengangguk. Aku pun melaut bersama Suti. Selalu saja, aku ketinggalan kondom. Suti juga tidak mengingatkan dan malah Suti sangat menginginkan aku tidak memakai kondom. Kami justru bersetubuh denga leluasa tanpa pengaman.

Tanpa sadar, Suti hamil dalam usia 15 tahun. Aku sempat panik juga saat itu. Kalau digugurkan, bagaimana mengatakannya kepada ibu dan bagaimana mengatakannya kepada dokter yang akan menggugurkannya. 

AKhirnya aku dapat akal. AKu mengteahui kalau Amir suka mencuri-curi pandang kepada Suti. Dan beberapa kawan-kawan Suti suka mengolok-olok Suti dengan Amir dan Suti biasanya tertunduk malu, tapi Amir malah bangga dan senang. 

AKu mulai meyakinkan Suti, kalau dia harus membawa Amir ke pulau ini, kemudian merayunya dan melakukan persetubuhan dengan Amir. Mulanya Suti tidak mau, atpi aku terus meyakinkannya, kalau kami tak mungkin menikah. 

Dengan perasaan berat, Suti akhirnya mau juga. Aku lebih dahulu ke pulau kecil dan mengendap di balik pohon bakau. Tak lama perahu kecil dinaiki oleh AMir dan Suti muncul.

AKu sembunyi di balik pohon bakau yang lebat. AKu melihat AMir mulai merayu Suti. Usia mereka hanya selisih 4 tahun. Mereka pun berciuman. Saat itu Suti yag sudah lincah dan pintar mulai mengelus-elus kontol Amir. Amir membalas mengelus-elus memek Suti dan Amir melepaskan celananya. Perlahan pula Amir melepas celana Suti yang tidak memakai celana dalam.

Perlahan Amir menindih Suti di atas perahu dan memasukkan kontolnya ke dalam memek Suti. Aku melihat dengan jelas, Amir menggenjot Suti dari atas sampai perahu terangguk angguk. Sampai akhirnya mereka merenggang dan Suti menangis. AKu mendengar Amir membujuknya dan memeluk Suti dengan tulus. Kejadian itu terulang berkali-kali atas petunjukku. Sampai akhirnya, aku meminta dikawani oleh dua orang tua mencari perahu yang dipakai Amir dan Suti. Kami mengendap-endap dari balik pohon bakau. 

Kami bertiga melihat Suti digenjot oleh Amir. “Bagaimana. Kita tangkap basah,” kata salah seorang orangtua itu. “Terserah. Tapi aku di sini saja. AKu malu,” kataku. Mereka memakluminya. 

Akhirnya kedua orangtua penduduk kampung kami memergoki mereka dan menyergapnya. Saat mereka menyergapnya aku pulang sendiri. Dari kejauhan aku melihat mereka membawa Suti dan Amir ke kampung dan aku sudah lebih dahulu sampai. Aku hanya tertunduk saja, saat keduanya dibawa ke rumah kepala desa. Kedua orang tua kami diundang datang dan semua diberitahukan. Aku katakan, aku tak mau persoalan ini diperbesar-besarkan. Aku meminta agar mereka dinikahkan saja.

 Mulanya ayahku uring-uringan. Tapi ibuku membentaknya dan aku menyetujui mereka menikah. Akhirnya, kedua orangtua Amir setuju mereka dinikahkan, karena ibu AMir sudah lama menyenangi adikku Sutinah. Sore itu, beberapa orang di desa itu diundang, termasuk kepala sekolah Suti. Kepala desa memohon, agar Suti diperkenankan mengikuti ujian, minggu depan agar mendapat ijazah. Kepala sekolah setuju.

Mereka dinikahkan dan ayahku menjadi walinya. Aku tertunduk. Saat mata Suti melirikku, aku tersenyum dan Suti tersenyum sembunyi-sembunyi. Malam itu juga, Amir pindah ke rumah kami dan di rumah pasang tirai pembatas. Aku tidur di dapur. 

Setelah sebulan, Suti mulai muntah-muntah. Hampir seluruh dengan mengathui kalau Suti hamil. Orang tua Amir sangat senang. 

Bahkan ada yang mengatakan,.Amir itu laki-laki perkasa. Begitu nikah langsung hamil. Tapi ada yang mengatakan. kalau Amir dan Suti diam-diam sudah lama melakukan hubungan suami isteri secara diam-diam.  

Semua memaklumi. Begitulah kalau des pantai. “Ini anak Mas, Kan?” kata Suti berbisik. Aku mengangguk. Dalam hatiku, kalau setahu ini, aku akan mendapatkan dua orang anak sekali gus. Satu dari ibu dan satu dari adikku Suti. Orang-orang kampung datang ke rumah kami, setelah tujuh hari ibu melahirkan seorang bayi laki-laki. Selamatan dibuatkan kecil-kecilan. Bacakan namanya. Ayahku senang sekali atas kelahiran bayi mungil itu.

 Dalam usianya yang tua, orang berkata, kalau ayahku masih hebat. Ayah pun dengan busung dada sangat bangga dikatakan demikian. Duabulan setelah itu, giliran Suti melahirkan. 

Dia meraung-raung. Maklum anak pertama. Aku sangat gelisah akan keselamatan adikku Suti. Ada penyesalan dalam diriku. Ibu bidan desa terus menerus menemani Suti yang masih muda belia itu. Akhirnya aku mendengarkan suara tangisan bayi yang memecah hembusan angin senja. 

Bayi laki-laki kata ibu bidan. Aku pun lega. Ku dengar tangisan Suti langsung terhenti. Ibu pun sangat sibuk mengambil air dalam waskom. Bayi dibersihkan. Setelah semua selesai, kami satu-persatu bergantian diberikan kesempatan m,enyalami Suti. 

Pertama Amir, kedua orangtuanya, ayahku dan terakhir aku. Aku mencium pipi Suti. Suti memelukku kuat dan meneteskan air mata. Aku juga. “Selamat ya dik…” kataku. Suti meraih tengkukku dan membisikkan ke telingaku. “Bukan dik. Bune…” katanya berbisik. 

“Aku mendekatkan mulutku ke telinganya dan mengatakan ya:” Selamat ya bune…” Suti tersenyum di balik wajahnya yang masih pucat. Aku juga tersenyum. Semua menyaksikannya. 

Lalu ibuku angkat suara. “Aku bahagia sekali. Anak laki-lakiku, sangat menyayangi adiknya Suti. Demikian juga dengan Suti sangat menyayangi kang Mas-nya. Maklumlah, selama ini hanya ada mereka berdua, sebelum adik Suti lahir,” kata ibuku dengan sedikit bangga atau dibangga-banggakan. Semua ikut memuji kami, aku dan SUti
                                    ==== TAMAT =====

1 komentar:

  1. Salam Sukses Untuk Semuanya...
    AYOOO...!!!!!

    Bagi yang Suka Main Poker Uang Asli
    Ayo Gabung Bersama Kami Di Wayangpoker
    MENANG maupun KALAH Tetap mendapatkan Bonus Setiap Hari
    Wayangpoker Situs terpercaya yang sudah lama berada diantara kita semua.
    Minimal DEPOSIT CUKUP DENGAN Rp,20.000
    Minimal WITHDRAW CUMA Rp.40.000
    BBM : 2BE326CC
    WWW.WAYANGPOKER.POKER

    BalasHapus